:: Bab XXXIX ::

1K 80 7
                                    

Melihat Bima yang tiba-tiba menjauhkan ponsel dari telinga, Flo langsung menghentikan tawa. Keluar dari aplikasi TikTok yang tengah menyajikan video lucu hingga membuatnya terpingkal, ia jadi merasa bersalah. Mungkin, suara tawanya terdengar mengganggu bagi lawan bicara Bima di telfon itu.

Sungkan, Flo pun meminta maaf setelah melihat Bima meletakkan ponselnya di atas meja. "Sorry, ya. Gue kelepasan ketawa."

Bima tersenyum santai, tampak tak mempermasalahkan hal tersebut, "Santai aja, Flo. Justru suara ketawa lo itu membantu banget tadi."

"Membantu... gimana maksudnya?" Kening Flo mengkerut cukup dalam. Hanya dengan melihat mimik wajahnya, Bima mestinya bisa segera menjelaskan. Tapi, pria itu memilih diam usai menggeleng dan terkekeh singkat.

Setelah mengurus semua syarat untuk sidang skripsi keduanya, Flo membawa Bima untuk makan di kantin Doraemon. Kantin langganannya bersama Athalia dan Coral. Sebagai permintaan maaf karena sudah membuat pria itu menunggu —bahkan menemani dan membantunya mengurus semua berkas yang dibutuhkan—, ia mentraktir Bima.

Sama-sama sudah menghabiskan makanan, keduanya tidak segera beranjak sebab berniat menurunkan makanan ke perut sambil berbincang ringan. Sampai ketika ponsel Bima berdering, perbincangan mereka pun terputus.

Waktu berlalu dalam sunyi selama sepersekian detik, sebelum akhirnya Bima mengakui sesuatu.

"Tadi Mas Ranggi."

Flo batal menyeruput sisa es jeruk pesanannya sejurus dengan pengakuan yang Bima lontarkan. Dengan bola mata yang sedikit gemetar, ia menatap pria yang duduk di hadapannya itu ditemani otak yang seketika menjadi kosong.

Sedang Bima malah mengulum senyum, lantas menunduk. "Kayaknya, langkah lo ini tepat. Mungkin, sekarang dia lagi nyesel-nyeselnya karena nyuruh lo pergi."

Jari Flo meremas sedotan yang harusnya ia gunakan untuk minum. Ia melakukannya tanpa sadar, seiring dengan tunas harapan yang mulai tumbuh. Pendapat Bima barusan bagaikan air yang menyirami dahaganya atas sebuah keinginan dan Flo bukan tipe orang yang bisa santai mendengar hal itu.

Beruntung, Bima dengan cepat mengalihkan pembicaraan. Nampaknya, kegelisahan itu begitu ketara di atas wajahnya.

"Jadi, kapan lo sidang?"

"Ehm... masih belum tahu. Tadi adminnya bilang jadwalnya keluar beberapa hari lagi."

"Kabarin gue, ya. Biar gue bisa datang."

Flo dengan cepat mencegah, "Jangan, gak usah. Repot-repot lo. Kan, Purwokerto ke sini lumayan jauh kalau naik mobil. Apalagi lo nyetir sendiri."

Lagi-lagi Bima tersenyum. Mungkin baginya senyum berharga sangat murah.

Sambil mengacak rambut Flo dengan gemas, ia membalas, "Opsi ke Jakarta gak cuma bawa mobil sendiri, Flo. Ada kereta sama bus buat apa kalau gak dipakai?"

"Benar juga, ya." Flo baru menyadari nalarnya yang tak berjalan dengan baik.

Ia menyentuh bekas usapan Bima, dan di saat bersamaan hatinya malah merasa kecewa. Membayangkan usapan itu berasal dari Ranggi jelas akan membuatnya jauh lebih bahagia.

Terpikirkan tentang Ranggi, Flo menelan gengsi. Secara lirih, ia mengungkit kembali topik mereka sebelumnya.

"Mas Ranggi... ngapain nelfon lo?"

Senyum Bima masih bertengger. Namun, tak ada yang menyadari makna yang berganti dibaliknya.

"Minta ketemu."

"Untuk?" Flo sudah tak kuasa membendung rasa penasaran.

Bima mengedikkan bahu, "Dia gak bilang untuk apa, sih. Tapi, emangnya lo gak bilang ke dia kalau lo balik ke Jakarta?"

Angry Om is My Housemate [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang