:: Bab XXXIV ::

862 85 12
                                    

Lantunan merdu Adzan menggaung. Membelah fajar yang nampak anggun dengan perpaduan merah jingga-nya. Ditemani oleh kawanan burung yang mengepakkan sayap, menjadikannya manik-manik penghias di antara lapangnya semesta bagaikan kanvas.

Terbiasa bangun tepat di waktunya orang ibadah Subuh, Mbah pun meninggalkan ranjang. Menyalakan beberapa lampu di sudut yang minim cahaya dan mematikan lampu di ruangan yang bisa memanfaatkan matahari sebagai penerang.

Membuka semua jendela dan pintu juga termasuk rutinitas harian wanita sepuh itu. Namun, menemukan seseorang sudah duduk di terasnya pagi-pagi begini adalah kali pertama untuknya.

"Loh, Le?"

Menggubris panggilannya, orang itu menoleh. Dia langsung menyalami tangannya, bentuk kesopanan terhadap yang lebih tua.

"Ada apa pagi-pagi ke sini, Le? Mau ketemu Flo?"

Mbah mana tahu kalau Bima sudah ada di sana sejak semalam. Hanya untuk mencoba menenangkan Flo yang terjerat dalam kenestapaan akibat dirinya. Meski usahanya itu tidak berimbas banyak.

Setelah memastikan gadis itu baik-baik saja, tak akan ada yang melarang Bima untuk pulang. Namun demikian, ia memilih menetap di sana barang hanya semalam.

Dan kini Bima tidak tahu harus menjawab apa. Mustahil ia membeberkan kalau semalaman ia duduk di sana atau Mbah bisa memandangnya aneh sambil berpikir yang tidak-tidak. Alhasil, tak ada opsi lain yang ia punya kecuali mengangguk.

"Tapi, pasti Flo masih tidur, ya, Mbah?" Bima berpura-pura dungu. Lirikannya yang menyasar daun pintu kamar Flo ditiru pula oleh si Mbah. Wanita lanjut usia itu membenarkan, "Biasanya dia keluar nanti jam 6-an. Kalau mau nunggu, masuk saja. Biar Mbah bangunkan Flo-nya."

Dengan bahasa Indonesia yang baku wanita itu menjawab. Beliau sudah memberi jalan pada Bima tapi pria itu menolak secara halus, "Kalau gitu, nanti aja saya datang lagi, Mbah. Kasihan Flo, dia butuh istirahat."

"Wis, ora apa-apa."

- (Udah, gak apa-apa.)

Enggan mendengar penolakannya, Mbah menarik Bima untuk masuk. Disuruhnya duduk di ruang tamu, sementara ia mengantar tiga kali ketukan di atas pintu.

"Flo, kiye. Batire nggoleti."

- (Flo, ini. Temannya nyariin.)

Bersiap dengan kali kedua, tangan Mbah sudah mendarat di atas pintu. Namun, sahutan nyaring dari dalam menghentikkan aksinya.

"Iya, Mbah. Flo lagi beres-beres kasur, sebentar."

Si Mbah terdiam sejenak. Belum genap jam 5 dan tumben sekali cucunya itu sudah bangun. Hal itu jelas memancing tanda tanya dalam benak.

Berusaha untuk tidak mempedulikan keanehan tersebut, si Mbah pun bergabung bersama Bima. Duduk di sebelah pemuda itu, seraya mengusap hangat tangannya.

"Katanya semalam kamu mau ke sini untuk makan malam bersama. Mbah ngenteni, loh."

- (... Mbah nungguin, loh.)

Tak mungkin bila Bima tidak menyesal karena sudah membuat wanita di sampingnya menunggu. Kalau bukan karena pertemuannya dengan Ranggi yang membuatnya terus merenung, pasti ia sudah menepati kata-katanya untuk datang tepat waktu.

"Maaf, ya, Mbah. Semalam saya banyak kerjaan," kilahnya, berdusta. Untung si Mbah manggut-manggut saja.

"Kalau gitu, kamu sarapan di sini, ya." Ajakan Mbah membuat Bima agak kelabakan. Sejujurnya, ia belum siap bertemu Flo lagi, terlebih karena apa yang terjadi semalam.

Angry Om is My Housemate [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang