:: Bab XII ::

1.2K 123 6
                                    

Ingin menyalahkan cuaca, namun langit Purwokerto hari ini tampak gelap. Tidak se-terik kemarin, matahari malu-malu untuk menampakkan diri.

Kendati demikian, Flo tetap berkeringat. Sengaja memilih meja di bagian outdoor agar terkena angin sepoi-sepoi nyatanya tak banyak membantu. Entah sudah berapa lembar tisu yang ia gunakan untuk menyeka keringat di pelipis dan di telapak tangannya.

"Apa batalin aja, ya?" Flo bertanya pada dirinya sendiri. Di bawah meja, kaki-nya menghentak-hentak seperti sedang menggenjot mesin jahit. Kebiasaan yang Flo lakukan untuk mengatasi kegugupannya sendiri.

Memeriksa waktu melalui ponsel, Flo sadar ia masih punya 10 menit jika memang ingin membatalkan pertemuan ini. Toh, yang ditunggu belum hadir jadi jika ia pergi dari sana sekarang harusnya tidak apa-apa.

"Iya, deh. Batalin aja," putus Flo, mengikuti kata hatinya yang terbebani oleh rasa gugup. Lebih baik ia kelelahan mengurus si Mbah daripada kelelahan karena menahan diri agar tidak gelisah bila yang ia tunggu benar-benar datang.

"Lo udah datang ternyata."

Flo sudah setengah terbangun ketika suara itu menyapa. Menghela napas pasrah, Flo memejamkan mata. Usaha kaburnya tak terlaksana dengan sempurna.

Sempat bingung antara harus kembali duduk atau lanjut bangkit, Flo memilih untuk bangkit sepenuhnya. Berpura-pura menyambut kedatangan pria itu.

"Hai, Bim."

Setelah mencuci kain pel yang baru saja ia gunakan lalu menjemurnya, Flo bisa mencentang semua daftar kegiatan pagi-nya. Ia akan istirahat sebentar sebelum menyortir antara bajunya dengan baju si Mbah untuk dimasukkan ke lemari.

Seraya mengeringkan keringat di hadapan kipas, Flo memainkan ponsel. Namun, ia hampir menjatuhkan ponsel sematawayang-nya akibat panggilan dari orang yang tak pernah ia harapkan akan menelfon-nya. Apalagi, Flo belum siap memberikan jawaban.

Tak bisa mengabaikan sementara ponselnya terus berdering, Flo memutuskan untuk mengangkat panggilan itu. Walau tangannya tremor sedikit.

"Gimana, Flo? Besok gue keluar kota. Jadi, kalau lo emang mau berterima kasih atas bantuan gue, mending kita ketemuan hari ini."

Flo yang tak bisa membiarkan dirinya berhutang pun seakan dipaksa untuk memilih satu opsi. Yaitu menyetujui.

Maka, berakhirlah Flo di sini. Sebuah kafe rekomendasi Bima untuk mentraktirnya makan sekaligus ngopi sebagai bentuk terima kasih.

Seperti anak muda modis kebanyakan, Bima pandai memadu padankan pakaiannya. Kemeja linen berwarna coklat bata dia padukan dengan celana panjang hitam dan ditutup dengan sepasang sneakers dari merk ternama, Nike.

Sementara Flo hanya mengenakan kaus oblong tertutup cardigan dengan boyfriend jeans serta flatshoes. Ia juga memilih tote bag kanvas yang tak sengaja ia temukan di ruang tamu untuk membawa barang-barangnya.

"Udah lama?" tanya Bima, sebelum akhirnya mengambil tepat di hadapan Flo.

"B-belum, kok. Gue juga baru sampai."

"Terus tadi lo mau kemana?"

"Hah?" Flo tak menyangka Bima yang memergokinya hampir kabur tadi akan meminta kejelasan seperti ini.

Menggaruk pelipis yang sebenarnya tidak gatal, Flo menjawab asal, "Mau ke kamar mandi tadi."

Bima ber-oh ria. Tapi kemudian, bertanya lagi, "Kenapa gak jadi?"

Flo mengerjap kelesah. Lantas lagi-lagi menjawab asal, "Udah gak kebelet aja."

Nampak Bima yang tersenyum hingga kedua matanya tak terlihat, "Oh, gitu. Next time, kalau kebelet jangan ditahan, Flo. Bisa bikin penyakit."

Angry Om is My Housemate [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang