:: Bab XXXII ::

844 77 4
                                    

Adzan Maghrib berkumandang namun batang hidung Ranggi belum juga kelihatan. Flo mengintip lewat jendela dan ia tidak menemukan motor Nmax pria itu terparkir di teras. Hari ini menjadi hari kedua Ranggi tidak pulang ke rumah.

"Ranggi ora ngabari ko emange?"

— (Ranggi gak ngabarin kamu emangnya?)

Si Mbah datang dari dapur dengan 3 piring kosong untuk makan malam. Berjaga-jaga mengeluarkan 1 piring cadangan. Siapa tahu Ranggi pulang malam ini, sehingga mereka bisa makan bersama seperti biasanya.

Flo menoleh sesaat pada Mbah yang sudah duduk nyaman di kursi, sambil menggeleng lemah. Sebelum akhirnya kembali melirik ke sana ke mari sembari berharap pria yang mereka bicarakan akan datang.

"Apa mungkin ana urusan kerjaan maning, dadi ora bisa bali?" Mbah menebak.

— (Apa mungkin ada urusan kerjaan lagi, jadi gak bisa pulang?)

Flo yang tak tahu menahu pun hanya bisa diam. Tidak berbeda dengan si Mbah, ia juga penasaran kemana Ranggi sebenarnya. Pesan dan telfonnya tidak pernah mendapat balasan maupun jawaban.

Ketakutan Flo menyusup di setiap detik. Ia tidak mau Ranggi kembali menjauhinya apalagi untuk alasan yang bahkan tak bisa ia mengerti. Terlebih, ia sudah menaruh banyak harapan pada pria itu. Menginginkan Ranggi untuk serius pada hubungan mereka yang belum memiliki status.

Ranggi tak pernah mendeklarasikan dirinya sebagai pacar. Tapi, pria itu selalu menaruh perhatian lebih dan bersikap lebih dari sekedar teman satu rumah. Termasuk janji manis pria itu yang sukses meyakinkan Flo untuk percaya.

Dan setelah melewati hari-hari seperti itu, mana mungkin Flo tidak takut jika Ranggi tiba-tiba menghilang?

Flo mengurut tangannya dengan cemas. Ia menyerah dengan penantian yang tak menghasilkan apapun hari ini lantas bergabung dengan si Mbah di meja makan.

"Uwis, aja dipikirna. Ngesuk pasti Ranggi bali."

— (Udah, jangan dipikirin. Besok pasti Ranggi pulang.)

Mbah menggapai tangan Flo, mengusapnya dengan penuh kelembutan. Bagaimana kecemasan itu tergambar jelas pada wajah sang cucu, agaknya tak mungkin jika ia tinggal diam. Ia wajib menenangkan.

Sedang Flo hanya mengangguk. Mudah untuk dikatakan tapi belum tentu mampu ia lakukan. Kendati demikian, kalimat terakhir dari si Mbah selalu Flo rapal. Berharap bisa menjadi kenyataan.

Besok, Ranggi pasti pulang.

Ya. Flo yakin, Ranggi pasti pulang.

Dengan begitu ia bisa mendapat jawaban atas masa lalu pria itu yang sebenarnya.

...

"Lo gak lagi dalam misi menghindari Flo kayak kemarin, kan?"

Bernard sebenarnya sudah siap untuk terjun bebas ke dalam alam mimpi. Namun, sebuah kejanggalan terus mengusik ketenangannya sejak tadi pagi.

Ia berusaha melirik Ranggi tapi terhalang dipan. Alhasil, ia tak tahu kalau sang sahabat sedang terlentang dengan satu tangan di bawah kepala bersama tatapan kosong mengarah pada langit-langit kamar.

"Nard."

"Apa?"

Ranggi merasa butuh pendapat. Tapi, sadar bahwa satu-satunya tempat untuk bisa bercerita hanya Bernard, ia mengurungkan niat. Sepertinya, harus ia pendam dulu sampai waktunya tepat.

"Gak jadi."

"Gi, gak usah rese."

"Udah tidur," sahut Ranggi, mengabaikan kekesalan Bernard yang terlanjur antusias. Tepat ketika pria Batak itu hendak melayangkan protes, ia sudah lebih dulu melempar bantal. Hingga mengenai wajah Bernard dan membuatnya mendesis geram.

Angry Om is My Housemate [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang