:: Bab XIII ::

1.1K 118 4
                                    

Meski belum ada 1 jam tertidur, keributan antara Flo dan Ranggi sukses membuat si Mbah terbangun.

Wanita lanjut usia itu beranjak dari posisi telentangnya untuk menyambut Flo yang baru saja mengunci pintu kamarnya. Tak lagi menahan tangisan, gadis itu bersimpuh di hadapan si Mbah. Rambut, baju dan matanya sama-sama meneteskan air, membuat lantai menjadi basah.

"Kenapa, Flo?" tanya si Mbah, cemas. Flo tak segera menjawab. Tangisnya semakin deras saat tangan berkeriput Mbah mengusap punggungnya dengan lembut.

"Wis, wis. Sing tenang, ya. Ana apa?"

— (Udah, udah. Yang tenang, ya. Ada apa?)

"Itu, Mbah. Dia marahin aku mulu, padahal aku bukan yang sengaja ninggalin Mbah sampai kayak gini," adu Flo, masih bersama isak tangisnya. Karena sesenggukan, ia sampai tergagap-gagap.

"Siapa? Ranggi?"

Flo mengangguk seraya menyeka lendir dari hidungnya.

"Kenapa, sih, dia marahin aku terus, Mbah? Aku salah dikit dimarahin, dibilang gak bisa mikir. Aku emang bodoh dan ceroboh tapi bukan berarti dia bisa ngehina aku kayak gitu terus." Flo menyampaikan pembelaan diri.

Kemudian ia melanjutkan, "Mbah sendiri, kan, yang ngizinin aku untuk pergi? Tapi dia bilang aku egois, karena aku pergi supaya aku bisa main dan gak perlu ngurusin Mbah. Mbah juga yang nyuruh aku untuk simpan lauk kiriman Bude Sari di dapur, yang nyuruh aku diemin jemuran karena belum kering semua, kan? Tapi, dia gak percaya sama aku dan malah nuduh aku nyalahin Mbah! Padahal gak begitu sebenarnya!"

Meski nampak seperti bocah TK yang tengah merajuk, Flo tak peduli. Ia hanya merasa sikap Ranggi tadi sangat amat keterlaluan dan Mbah selaku pemilik rumah perlu tahu itu.

Dengan penuh kasih sayang, tangan Mbah merangkak naik menuju pucuk kepala Flo. Membiarkan sang cucu menuntaskan tangisannya terlebih dulu ditemani tepukan pelan untuk membuat Flo merasa lebih baik.

"Wis, wis. Ora apa-apa. Mengko, Mbah sing ngomong karo Ranggi, ya," ujarnya, menenangkan.

— (Udah, udah. Gak apa-apa. Nanti, Mbah yang ngomong sama Ranggi, ya.)

...

Kamar si Mbah bukanlah kamar khusus yang memiliki efek kedap suara. Semua pembicaraan Flo dan Mbah masih bisa Ranggi dengar dengan jelas dari luar.

Ia berdiri tepat di depan pintu kamar si Mbah. Sempat mendengar suara kunci yang diputar, tentunya ia tak akan bisa menerobos masuk ke dalam untuk sekedar meminta maaf.

Kepalan tangannya hampir mengudara, hendak melayangkan ketukan untuk bisa menjelaskan kesalahpahaman ini dari sudut pandangnya.

Namun, setelah dipikir lebih lanjut, momennya belum tepat. Terlebih, gengsi yang Ranggi miliki terlalu kuat. Ia tak mau serta merta mengakui bahwa ia sudah salah. Kendati ia tahu bahwa tuduhan dan bentakannya pada Flo tadi sangatlah keterlaluan.

Pada akhirnya, Ranggi mengambil langkah mundur dari sana untuk kemudian beranjak masuk ke dalam kamarnya sendiri. Semoga saja, malam ini ia bisa beristirahat dengan tenang.

Meskipun, ia sendiri 99% yakin kalau perasaannya tak akan terasa nyaman sampai kesalahpahaman ini benar-benar diselesaikan.

...

Dering alarm berhasil membangunkan Flo. Pening menyertai kepalanya saat ia bangkit dari ranjang. Tenggorokannya pun terasa gatal dan sakit tiap kali ia batuk. Ia juga berkali-kali bersin. Sedikit menggigil, ia menyadari hujan-hujanan singkat semalam nyatanya tetap memberi efek samping.

Angry Om is My Housemate [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang