:: Bab VII ::

1.2K 113 4
                                    

Tak mau kehilangan untuk yang kedua kalinya, Ranggi membawa minyak wangi limited edition yang telah diganti oleh Flo ke kantor. Menyimpannya dengan baik di laci kabinet.

Sebelum menutup laci, ia sempat memperhatikan botol kaca berisi cairan bening itu lekat-lekat. Hampir setengah ruang di hatinya terasa tak nyaman selagi tatapannya terpaku pada benda tersebut.

Ranggi tak bermaksud menyuruh Flo mengganti minyak wangi itu. Sedikit yang ia tahu, Flo masih di tahun terakhir kuliah-nya dan tak punya pekerjaan tetap yang menghasilkan. Jadi, bagaimana cara Flo bisa membeli minyak wangi yang cukup mahal itu?

Apalagi, fakta lain yang didapatnya berkat menguping tadi. Yaitu Flo yang tengah terombang-ambing di masa-masa skripsi yang menyebalkan. Situasi gadis itu jelas tidak baik.

Kesannya Ranggi seperti orang jahat yang sedang memeras orang lain yang kesusahan demi keinginannya sendiri.

Ranggi berpikir keras, berusaha mencari cara agar rasa tak nyaman itu tidak terus menerus memenuhi hatinya. Bisa-bisa ia tidak fokus bekerja kalau suasana hatinya saja kacau.

"Perasaan gak ada tuyul-nya, tuh, botol minyak wangi. Ngapain, sih, dilihatin terus?"

Saking keras-nya Ranggi berpikir, ia tak memperdulikan sekitar. Termasuk fakta bahwa Bernard sudah berjongkok di dekat kabinetnya sambil melakukan hal yang sama dengannya.

"Kapan lo masuk?!" tegur Ranggi, tak senang. Dengan satu tendangan, ia membuat laci kabinet itu tertutup hingga terdengar bunyi kencang yang membuat Bernard terjungkal.

Padahal, Bernard bisa terkejut tanpa harus terjungkal. Sahabat merangkap rekan kerja Ranggi yang mirip beruang itu memang suka dramatis.

"Yeee," sorak Bernard ketus. Pria itu memindahkan bokongnya untuk jatuh di kursi lain lantas menjelaskan, "Dari tadi gue udah ketok-ketok, tuh, pintu. Lo-nya ngelamun. Kirain ngelihatin apaan, tahunya minyak wangi."

Sebagai tanggapan, Ranggi hanya berdehem kecil kemudian menyibukkan diri dengan komputernya. Mengabaikan Bernard begitu saja.

Pria Batak itu pun memulai topik pembicaraan lain, "Eh, gue dengar-dengar, lo ngabisin si anak baru semalam?"

"Ngabisin? Wafer lebaran kali dia," sahut Ranggi malas. Karena topik itu, ia jadi teringat dengan anak baru yang berulang kali membuat masalah hingga tak lagi bisa ia toleransi.

"Dih, serius, monyet. Tadi pagi, anaknya dipanggil sama kepala cabang. Kayaknya mau dikasih surat cinta, deh."

"Ya udah. Urusan dia itu, mah." Ranggi masih santai. Setidaknya sampai Bernard meletakkan selembar surat di atas meja-nya.

"HR nitip ini ke gue. Yang bakal dapat surat cinta kayaknya bukan anak baru doang."

Ranggi menghentikan segala aktivitasnya lalu mengerahkan konsentrasi penuh pada surat pemberian Bernard.

Kemungkinan yang Bernard utarakan, nampaknya akan betul-betul terjadi.

Ranggi mendesah panjang lalu mengusap wajah-nya dengan kasar layaknya cucian baju yang sedang disikat. Sementara Bernard menepuk pundaknya, menyalurkan semangat.

"Nanti, sebelum ke ruangan HR, jangan lupa pakai parfum kesayangan lo itu. Siapa tahu, dapat keberuntungan. Good luck, Bro."

Sepeninggal Bernard, Ranggi membaca ulang surat pemberitahuan rapat disipliner itu ditemani napas yang berhembus panjang dan berat. Hari ini jelas tak akan berakhir menyenangkan.

Namun, ketika Ranggi mengikuti saran Bernard untuk menggunakan minyak wangi yang barusan ia simpan di laci kabinet, muncul sensasi ketenangan yang merangkul kedua pundaknya.

Angry Om is My Housemate [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang