:: Bab XXXIII ::

793 81 5
                                    

"Kita berhenti sampai di sini aja."

"'Berhenti'? Maksudnya apa...? Saya gak—"

"Apa yang ada di antara kita, anggap aja itu gak pernah terjadi. Ayo, kita balik ke situasi kita semula, situasi dimana kamu dan saya gak mengenal satu sama lain."

Flo termangu. Bagaikan menapaki air es, tubuhnya membeku. Ia datang ke kantor Ranggi pagi-pagi dengan membawa telur kukus kesukaan pria itu bukan untuk mendengar hal semacam ini. Terkejut bercampur takut menyebabkan tempo detak jantungnya semakin naik.

"Saya lihat waktu kamu ketemu Bima. Kamu... udah tahu, kan masa lalu saya kayak apa?" Ranggi membuka kartu.

Sejujurnya, ia tidak berniat mengakhiri apa yang terjadi di antara mereka. Ia sudah berpikir untuk mengajak Flo ke hubungan yang serius, seperti yang gadis itu idam-idamkan.

Namun, mengingat kembali masa lalu-nya seperti apa, Ranggi keburu terjebak dalam keraguan. Rasa percaya dirinya menurun, tak yakin bila Flo bersedia menerimanya.

Memiliki hubungan dengan seorang pengecut sepertinya bukanlah sesuatu yang bisa dibanggakan. Ia hanya takut kalau fakta ia pernah membuat seseorang kehilangan nyawa, akan melukai Flo ke depannya.

Lagipula, ia yakin Flo juga akan pergi suatu saat nanti. Berakhir meninggalkannya sendiri, seperti yang abang dan Mamanya lakukan kepadanya. Maka, mengusirnya sejak awal jelas lebih baik ketimbang Ranggi harus merasakan kepedihan yang sama untuk kesekian kali.

"Saya gak tahu sejauh mana Bima cerita sama kamu. Tapi, memang benar kalau saya... pernah membuat orang celaka sampai meninggal. Bahkan saya lepas tanggung jawab saat itu. Kalaupun kamu cari di internet, berita tentang insiden tabrakan 7 tahun lalu itu pasti masih ada walau gak banyak."

Berbanding terbalik dengan Flo yang kesulitan menanggapi, Ranggi justru mendengus geli. Bentuk sarkasme untuk dirinya sendiri.

"Jadi, lebih baik kita berhenti di sini aja. Hilangin perasaan kamu ke saya karena saya juga... gak bisa menganggap kamu lebih dari sekedar orang asing. Apalagi kamu udah tahu sendiri masa lalu saya kayak apa. Seandainya saya jadi kamu, saya bakal milih pergi sejak awal."

Asam lambung Flo tiba-tiba meningkat. Ia melenguh pelan, sebelum akhirnya mengusap wajah dengan kasar.

Kemampuan mengontrol diri sedang diuji. Flo menarik napas berkali-kali kendati dadanya terasa sakit.

"Kenapa... gitu, Mas? B-bukannya Mas Ranggi bilang Mas gak bakal mempermainkan saya?" Di tengah respon tubuh yang menyiksa akibat pengakuan Ranggi yang mengejutkan, Flo mempertanyakan.

Ranggi terbata. Kerut menjembatani kedua alisnya. Ini bukan sesuatu yang inginkan, tapi ia tetap harus melakukannya.

"Flo—"

"Lagipula, tahu apa Mas Ranggi tentang isi hati saya? Mas Ranggi, kan bukan saya. Saya berhak memutuskan pilihan saya sendiri. Entah itu bertahan atau pergi. Dan saya mau bertahan, Mas."

Hanya dalam satu tarikan napas, Flo mengatakan itu semua. Ranggi dibuatnya tidak bisa berkata-kata.

Padahal, di balik itu ia mati-matian menahan tangisnya agar tak pecah. Perintah Ranggi untuk menyudahi hubungan yang bahkan belum mereka mulai itu jelas melukai perasaannya. Terlebih dengan pengakuan Ranggi tentang perasaannya, yang nyatanya tidak sama seperti yang Flo rasakan.

Selama ini ia salah dalam menyimpulkan. Tapi, Flo berusaha untuk tetap waras demi bisa bertahan bagaimana pun caranya.

Ranggi memejamkan mata kuat-kuat. "Flo, kamu bisa pilih orang yang lebih baik, yang bukan pecundang kayak saya—"

Angry Om is My Housemate [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang