16🍁

1.2K 101 44
                                    

Di lorong rumah sakit, papah tampak menggendong Tama di belakang punggungnya. Tubuh Tama tampak begitu lemas dan wajahnya terlihat begitu pucat. Ia baru saja menyelesaikan cuci darahnya dan kini papah hendak mengantarnya ke area parkir rumah sakit. Tubuhnya terbungkus jaket tebal, tangannya ia kalungkan pada leher papah, dan kepalanya tampak ia sandarkan pada bahu sang papah. Ia menolak menaiki kursi roda karena ia tidak mau dilihat seperti orang cacat. Perasaannya sedang tidak baik-baik sejak tadi siang. Ia bahkan berangkat ke rumah sakit untuk memenuhi panggilan dokter guna melakukan cuci darah rutinnya dengan terpaksa. Ia banyak diam dan banyak menangis hari itu.

"Kak?" panggil papah sambil berjalan menggendong Tama.

"Kakak baik-baik aja, kan?" ucap papah tampak khawatir.

Tama hanya diam dan tak menjawab ucapan papahnya. Jelas ia tidak baik-baik saja. Ia sakit hati dengan ucapan Saka tadi siang. Ia juga sedih karena harus memutuskan pertemanan dengan Bian. Ia benar-benar malu dengan keadaannya itu. Apa yang harus ia lakukan saat besok bertemu Bian di sekolah? Ia sangat tidak nyaman karena Bian harus tahu secepat ini soal penyakitnya. Ia benar-benar malu untuk mengakuinya tadi siang padanya. Ia kecewa pada dirinya sendiri. Mengapa dirinya harus menjadi orang yang seperti ini?! Mengapa harus jadi orang semenderita ini?! Mengapa harus menjadi orang yang penyakitan?! Ia telah mempermalukan dirinya sendiri di depan Bian. Ia sudah mengakui bahwa dirinya itu memang sakit. Ini benar-benar menyakitkan. Mengapa takdir terus saja membuatnya kecewa? Mengapa saat dirinya baru saja merasakan bahagianya, Tuhan hanya memberikan kesempatan itu sebentar saja? Mengapa tidak bisa lebih lama lagi? Mengapa harus secepat ini?

"Kakak? Jawab papah, kak! Kakak baik-baik aja, kan?!" ucap papah.

"Iya," jawab Tama pelan.

"Apa yang kakak rasain sekarang? Kakak mau tidur di rumah sakit dulu, hm? Papah takut kakak drop lagi kalau pulang," ucap papah.

"Ngga mau, pah. Kakak mau pulang aja," ucap Tama.

Mendengar itu, papah pun akhirnya hanya bisa menuruti putra sulungnya itu. Papah tidak ingin putra sulungnya itu semakin sedih jika ia terus memaksanya untuk menginap lagi di rumah sakit.

Sesampainya di parkiran, papah segera membuka pintu mobil dan membantu Tama untuk masuk ke dalam mobil.

Setelah itu, papah tampak membantu Tama untuk mengenakan sabuk pengamannya.

Setelah papah duduk di kursi kemudi, papah pun mulai menjalankan mobil keluar dari area parkir rumah sakit.

Saat dalam perjalanan pulang, Tama tampak banyak melamun dan pandangannya tampak mengarah ke arah kaca jendela mobil yang berada di sebelahnya. Banyak lampu kelap kelip malam itu menghiasi kota. Ia menyandarkan kepalanya pada kursi mobil dan terus melihat ke arah kaca jendela mobil. Papah yang duduk di sebelahnya tampak khawatir dengan diamnya Tama. Papah lalu melepas tangan kirinya yang sedang menyetir untuk merapatkan jaket yang dikenakan Tama supaya Tama tidak kedinginan di dalam mobil.

Tama tampak diam tak merespon apapun. Sementara papah kembali fokus menyetir meski hatinya tampak begitu mengkhawatirkan putra sulungnya yang sedari tadi banyak diam.

Flashback on :

Mobil papah tampak terparkir di depan halaman rumah. Sedangkan Saka juga baru saja memarkirkan motornya di sebelah mobil papah.

"Tunggu di ruang tamu! Papah mau bicara sama kamu!" ucap papah pada Saka saat papah baru saja keluar dari dalam mobil.

Saka pun akhirnya memasuki rumahnya dengan wajah yang tampak kesal.

Papah lalu membukakan pintu mobil untuk Tama. Setelah itu, Tama pun keluar dari dalam mobil dengan wajah yang tampak sembab karena ia menangis sepanjang perjalanan setelah pulang dari sekolahnya.

Kakak Sempurna Untuk Saka || JENO × JISUNG√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang