26🍁

885 79 8
                                    

Tama sudah kembali ke ruang rawatnya setelah menyelesaikan cuci darahnya. Bian dan Tsifani pun sudah pulang sedari sore setelah Tama selesai cuci darah. Kini hari sudah malam. Tama terbaring lemah di atas ranjang rawatnya dengan hanya ditemani oleh Agni yang duduk di kursi yang berada di samping ranjang rawatnya. Kondisi Tama saat itu masih lemah sekali karena ia baru saja selesai cuci darah. Efek setelah cuci darahnya masih terasa dari ia yang merasa pusing, nyeri perut, hingga mual dan muntah. Ia belum berkenan untuk memakan makan malamnya karena ia masih merasa mual dan selalu ingin muntah. Agni menggenggam tangan Tama yang terbebas infus. Ia sesekali mengelus tangan Tama dan menciumnya dengan penuh kasih sayang. Tama tidak memejamkan matanya. Ia hanya diam memperhatikan wajah lelah Agni yang setia menemaninya selama ia dirawat di rumah sakit.

"Papah..," lirih Tama.

"Iya, kak? Kakak butuh apa?" tanya Agni.

"Maafin kakak, ya..," ucap Tama.

"Kenapa kakak terus aja minta maaf sama papah? Memangnya kakak salah apa sama papah? Kakak selalu aja minta maaf sama papah. Padahal papah ngerasa kakak ngga bikin salah apa-apa sama papah," ucap Agni.

"Papah pasti capek banget ngurusin kakak, kan? Kakak minta maaf ya, pah..," ucap Tama. Ia selalu saja merasa bersalah pada Agni. Ia merasa bahwa dirinya sudah banyak sekali merepotkan Agni. Meski Agni sudah mengatakan berkali-kali padanya bahwa ia sama sekali tidak merasa direpotkan, tapi tetap saja Tama selalu menganggap dirinya itu sangatlah merepotkan. Agni sudah banyak sekali direpotkan olehnya sedari kecil terutama sejak ia dinyatakan sakit ginjal. Agni selalu menemaninya cuci darah. Ia selalu saja mau merawatnya sepanjang ia sakit. Padahal itu sangatlah merepotkan dan melelahkan. Tapi Agni begitu tulus memberikan kasih sayangnya padanya yang selalu hanya membuatnya susah.

"Kakak ngga usah mikirin papah, kak. Papah emang capek. Tapi capeknya papah nanti pasti langsung hilang kalo kakak sembuh. Makanya kakak harus cepet sembuh, ya?" ucap Agni.

"Kakak juga mau sembuh.. tapi sakitnya kakak ngga ada sembuhnya, pah..," ucap Tama.

"Kak, kalo kita mau usaha pasti nanti dikasih jalan, kok. Tuhan itu ngga tidur. Tuhan tau gimana kakak berjuang buat bisa sembuh dari sakitnya kakak. Kakak ngga boleh banyak ngeluh. Tuhan pasti akan bantu sembuhin sakitnya. Kakak harus sabar. Kakak harus ikhlas terima semua ujian ini. Setiap orang pasti punya masalah dan ujiannya sendiri-sendiri. Termasuk kakak yang dikasih sakit. Kakak ngga boleh nyerah. Kakak harus tetep semangat. Kan ada papah yang selalu ada buat kakak. Ada Saka yang harus kakak jagain juga. Kakak harus bisa bertahan demi papah sama Saka," ucap Agni.

Tama lalu hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban dari apa yang Agni katakan padanya. Ia tidak tahu apakah ia masih bisa bertahan lebih lama dan berjuang untuk bisa menyembuhkan penyakitnya. Tapi setidaknya ia berharap bahwa jawabannya tadi bisa membuat Agni merasa sedikit lega dan tidak terlalu mencemaskannya. Apapun yang terjadi nanti, ia sudah ikhlas dan pasrahkan segalanya pada Tuhan. Tapi meski begitu ia masih ingin berusaha untuk tetap memperjuangkan hidupnya demi orang-orang yang mencintainya dengan tulus. Ia tidak ingin membuat mereka sedih, ia harus bisa bertahan sedikit lagi.

Tok! Tok! Tok!

Suara pintu ruang rawat Tama diketuk dari luar.

"Siapa, pah? Apa itu Saka?!" tanya Tama penuh harap.

"Papah liat dulu, ya? Bisa aja itu dokter atau suster yang mau periksa kamu lagi," ucap Agni pada Tama karena ia tidak ingin Tama berharap terlalu tinggi apalagi jika berharap dijenguk oleh Saka karena itu pasti sangat mustahil.

Agni pun lalu beranjak dari duduknya dan berjalan membuka pintu ruang rawat Tama untuk melihat siapa yang mengetuk pintu ruang rawat Tama tadi. Setelah pintu dibuka, ternyata yang berdiri di depan pintu ruang rawat Tama adalah Carel.

Kakak Sempurna Untuk Saka || JENO × JISUNG√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang