Beberapa hari telah berlalu. Namun, Tama masih belum dibolehkan pulang ke rumah. Hal itu karena kondisinya semakin hari semakin memburuk. Bahkan, setiap kali ia selesai cuci darah, kondisi tubuhnya pasti akan melemah.
Saat ini, Tama ditemani oleh Tsifani dan neneknya. Namun, kini ia sedang menangis sambil merintih kesakitan karena ia kembali mengalami kencing berdarah. Ia juga mengeluh pinggangnya terasa sangat sakit.
"Hiks.. sakit, mah..," ucap Tama sambil menangis. Ia berbaring dengan posisi miring di atas brankarnya sambil meremat selimutnya.
"Sabar, dek. Mamah udah panggil dokter. Nanti kalo udah ditangani sama dokter pasti sakitnya sembuh," ucap Tsifani mencoba menenangkan Tama.
"Ya Allah, Tsifani.. ibu ngga tega liat dia kesakitan sampai seperti ini," ucap nenek dengan mata berkaca-kaca.
"Aku juga, bu. Tapi aku ngga bisa ngelakuin apa-apa buat ngurangin rasa sakitnya. Makanya aku panggil dokter ke sini buat nanganin dia. Aku takut kalo aku malah nanti bikin kesalahan kalo aku yang nanganin," ucap Tsifani.
Tak lama, datanglah dokter bersama dengan seorang suster untuk menangani Tama.
"Dokter, tolong cucu saya dok! Dia tadi buang air kecilnya berdarah. Terus dia juga bilang pinggangnya sakit sekali. Tolong hilangkan rasa sakitnya, dokter! Kasian dia, dok!" ucap nenek sambil menangis meminta tolong pada dokter.
"Tenang, bu. Saya akan berusaha menangani cucu ibu. Silahkan ibu keluar dulu, ya! Biarkan cucu ibu saya tangani dulu," ucap dokter pada nenek.
"Tapi saya tidak tega meninggalkannya sendirian di dalam sini, dok. Saya ingin temani dia. Dia pasti butuh neneknya untuk temani dia di sini," ucap nenek.
"Ibu, kita tunggu di luar aja ya. Nanti takutnya kita ganggu dokter mau periksa Tama. Nanti kita masuk lagi kalo dokter udah selesai, ya," bujuk Tsifani pada nenek.
"Tapi kasian Tama sendirian di sini, Tsifani. Kita harus temenin dia. Kamu liat, kan?! Dia lagi kesakitan sampe nangis kayak gitu! Kasian dia, Tsifani," ucap nenek sambil menangis.
"Iya, Bu. Aku ngerti. Aku juga kasian sama dia. Tapi kita harus keluar dulu sekarang. Biarin Tama diperiksa dulu sama dokter. Ibu mau Tama sembuh, kan?" ucap Tsifani dan diangguki oleh nenek.
"Ya udah kalo gitu kita harus keluar dulu. Cuma sebentar, kok. Dokter pasti ngga akan lama kok nanganinnya," ucap Tsifani.
"Sayang, nenek sama mamah keluar dulu ya. Nanti nenek ke sini lagi, sayang. Jangan nangis! Adek pasti kuat, ya! Nenek tunggu di depan sama mamah, ya!" ucap nenek sebelum akhirnya keluar dari dalam ruang rawat Tama bersama Tsifani.
Setelah Tsifani dan nenek keluar, dokter dan suster pun segera menangani Tama yang sedang merintih kesakitan itu.
"Hiks.. sakit, dok..," ucap Tama sambil menangis.
"Tahan dulu, Tama! Kamu harus tenang," ucap dokter mencoba menenangkan Tama.
"Suster, siapkan obat antibiotik!" ucap dokter pada suster.
"Baik, dok!" jawab suster segera menyiapkan apa yang diperintahkan oleh dokter.
"Minum dulu obatnya, Tama!" ucap dokter membantu Tama meminum obat antibiotik yang sudah suster siapkan.
Tama pun segera menuruti perintah dokter untuk meminum obat itu dengan bantuan air. Setelah itu, ia kembali membaringkan tubuhnya dalam posisi miring sambil menangis.
"Selain nyeri pinggang, apa ada keluhan lain, Tama?" tanya dokter pada Tama.
"Sakit perut..," ucap Tama sambil menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kakak Sempurna Untuk Saka || JENO × JISUNG√
Ficção AdolescenteDILARANG PLAGIAT!!! ❌ (𝐒𝐮𝐝𝐚𝐡 𝐓𝐀𝐌𝐀𝐓!) "Saka, dunia ini tempat dan waktunya cuma sebentar..," "Maafin kakak ya, Sa.. kakak harus pulang..," "Maaf, Sa.. kakak belum bisa jadi kakak yang sempurna untuk Saka," ~Tama.