7🍁

1.6K 103 26
                                    

Malam itu, suara tangis Tama terdengar hingga keluar kamarnya. Ya, remaja laki-laki itu tengah menangis, berbaring di atas ranjangnya sambil memeluk gulingnya. Ia memiringkan tubuhnya memunggungi papahnya yang tengah duduk mengompres pinggangnya dengan es batu yang dibungkus pada handuk kecil dan sudah dipastikan bersih. Setelah itu, papah mengganti kompresannya dengan air hangat pada pinggang yang terasa sakit untuk mengurangi sakit dan peradangan. Di dahi Tama tertempel plester luka karena dahinya itu tadi sore sempat terluka karena terkena ubin batu di halaman rumahnya saat pingsan tadi.

"Pah.. pijitin pinggang kakak pelan-pelan, pah.. itu sakit banget," ucap Tama sambil meringis kesakitan.

"Ngga boleh dipijit, kak.. papah ngga berani pijit. Dokter kan bilang, kalau sakit cukup dikompres saja, jangan dipijit. Nanti malah tambah sakit kalau dipijit," ucap papah.

Tama memang sudah sering diingatkan soal itu. Namun, ia tetap sering memijitnya sendiri tanpa sepengetahuan papahnya. Itu karena dirinya tidak tahan dengan rasa sakitnya dan tangannya ingin sekali memijit pinggangnya yang terasa sakit itu.

"Ke rumah sakit saja ya, kak? Sakit sekali, kan? Kakak harus diperiksa dokter," ucap papah khawatir.

"Kakak ngga mau ke rumah sakit, pah..," ucap Tama sambil menangis.

"Terus ini gimana, kak? Papah bingung kalau kakak kayak gini, kak..," ucap papah.

Tama tidak menjawab ucapan papahnya. Ia sibuk menahan sakitnya yang begitu terasa menyakitkan itu. Ia menyesal karena telah membuat papahnya itu khawatir. Tapi ia sendiri juga tidak tahu bagaimana cara menghentikan rasa sakit yang ia rasakan itu.

Pintu kamar Tama terbuka, menampilkan Saka yang berdiri di depan pintu kamar.

"Ada apa, Sa?" tanya papah.

"Mau minta uang buat beli kertas folio, pah," ucap Saka.

"Kakak punya, Sa.. ambil aja punya kakak, Sa..," ucap Tama sambil meringis kesakitan.

"Itu di laci meja belajar. Ambil aja di situ," lirih Tama. Ia menghentikan tangisannya begitu melihat ada adiknya di depan pintu kamarnya.

"Buruan uangnya, pah! Nanti kemaleman. Aku lagi ngerjain tugas dan harus dikumpulin besok," ucap Saka.

"Itu kakak katanya punya, Sa.. pakai punya kakak dulu ngga pa-pa kan daripada kamu harus keluar? Besok papah kasih uang tambahan buat beli kertas folio yang baru buat sediaan kamu di rumah," ucap papah.

"Papah kasih uang buat kakak bayar ojek gampang banget. Giliran aku minta buat beli kertas folio doang susah banget. Emang anak kesayangan papah tuh cuma kakak, kan?" ucap Saka.

"Bukan gitu, Sa.. kenapa sih kamu selalu bilang kayak gitu sama papah? Papah sudah berulang kali bilang sama kamu kalau papah ngga pernah beda-bedain kamu sama kakak, Sa.. papah sayang sama anak-anak papah. Bukannya papah ngga mau ngasih, tapi apa salahnya sih pakai punya kakak dulu, Sa? Besok baru papah kasih uangnya buat beli kertas folionya. Ini sudah malam, Sa.. lagi pula toko yang jual mungkin juga sudah tutup," ucap papah.

"Masih ada yang buka, kok. Toko fotocopy-an depan bengkel bang Guntur pasti masih buka jam segini," ucap Saka.

"Pakai saja punya kakak, Sa..," ucap papah.

"Pah, aku ngga mau pake punya kakak!" ucap Saka.

"Kenapa ngga mau?" ucap papah.

Saka lalu melirik ke arah Tama yang masih memeluk guling sambil menghapus air mata yang diam-diam masih mengalir itu.

"Kasih aja uangnya, pah! Aku ngga mau pake punya kakak! Kertasnya pasti udah kena virus kakak. Nanti bisa-bisa aku ketularan sakit kayak kakak!" ucap Saka.

Kakak Sempurna Untuk Saka || JENO × JISUNG√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang