Bunyi bel istirahat kedua telah berbunyi. Seperti biasa, Tama tetap berada di dalam ruang kelasnya. Begitu juga Bian yang masih setia duduk di bangkunya yang bersebalahan dengan bangku Tama. Ia terus memperhatikan Tama yang sedari tadi diam tak menyapanya seperti tidak mengenalnya sama sekali bahkan seperti tidak menganggapnya ada di sana.
"Dek?" panggil Bian.
Tama tidak menjawab ucapan Bian. Ia sibuk dengan tas kecilnya yang berisi obat-obatan miliknya. Ia sudah blak-blakan minum obat rutinnya di depan Bian mulai hari itu karena Bian sudah tahu penyakitnya. Untuk apa ia bersembunyi lagi saat meminumnya? Biarkan saja Bian melihatnya. Biarkan ia terlihat menjijikkan di mata Bian. Biarkan Bian sadar bahwa dirinya itu memang sakit. Ia tidak peduli jika Bian akan menjauhinya sekalipun. Ia rasa itu lebih baik daripada Bian berusaha mendekatinya hanya untuk mengasihaninya.
"Adek kan belum makan, kok udah mau minum obatnya? Adek makan dulu, ya? Kak Bian udah bawain bekal lagi buat adek. Dimakan dulu, ya?" ucap Bian sambil mengeluarkan kotak bekal dari dalam lacinya.
Tama masih tetap diam tak menghiraukan Bian. Ia lalu meminum obatnya dengan bantuan air putih yang ia bawa dari rumah.
"Adek ngga mau makan bekal dari kak Bian, yah?" ucap Bian.
Tama masih diam membuat Bian semakin merasa sedih.
"Hm, ya udah kalo gitu kak Bian simpen lagi aja. Nanti kak Bian bawa pulang lagi ngga pa-pa," ucap Bian.
Tama tidak merespon apa-apa saat Bian mengatakan itu. Ia malah tampak menenggelamkan kepalanya di atas meja. Ia tampak memegangi perutnya yang masih terasa sakit dengan menggunakan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya ia gunakan untuk bantalan kepalanya di atas meja.
Melihat itu, Bian segera mengangkat kepala Tama dengan pelan dan menyingkirkan tangan Tama yang berada di atas meja lalu menggantinya dengan tangannya. Ia membiarkan Tama menggunakan tangannya sebagai bantalnya. Ia begitu khawatir melihat Tama yang sepertinya sedang tidak baik-baik saja hari itu. Entah apa yang dirasakan Tama saat itu, tapi Bian benar-benar mengkhawatirkan kondisi Tama apalagi sejak ia tahu bahwa Tama sakit.
Tama memang tidak mengatakan apapun pada Bian. Meski pagi sebelum berangkat sekolah itu ia sempat kesakitan saat buang air kecil, namun ia tidak mengatakannya pada siapapun. Hanya papahnya yang tahu. Itupun karena saat itu sedang ada papahnya di rumah. Jika saja saat itu papahnya tidak ada di rumah, siapa lagi yang akan ia mintai tolong? Meski ada Saka, rumahnya itu tetap seperti kosong tak berpenghuni. Jika ia minta bantuan pada Saka, adiknya itu pasti akan marah dan semakin memakinya. Ia tidak mau terus terlihat penyakitan di depan Saka. Ia tidak boleh banyak merepotkan Saka. Ia juga tidak boleh selalu bergantung padanya.
Tama terus diam dan tidak menolak atau menyingkirkan tangan Bian. Ia merasa nyaman dan sejujurnya ia sebenarnya juga tidak ingin sia-siakan kesempatan hidupnya yang mungkin tinggal sebentar lagi ini. Ia ingin membuat kenangan bersama dengan Bian. Ia menyayangi Bian seperti kakaknya sendiri. Keputusannya untuk menjauhi Bian memang terkesan egois dan justru menyiksa dirinya sendiri. Ia memang munafik. Ia mengatakan pada Bian untuk menjauh darinya, namun hatinya berkata lain karena dirinya itu sesungguhnya ingin Bian terus bersamanya.
"Adek blokir kontaknya kak Bian, yah?" ucap Bian.
Bodoh memang, sudah tahu diblokir, tapi masih bertanya lagi.
Tama tidak menjawab ucapan Bian.
"Adek marah banget yah sama kak Bian?" ucap Bian.
Tama tetap diam tak menjawab ucapan Bian.
"Kalau adek marah, kak Bian minta maaf ya, dek? Kak Bian banyak salah sama adek.. kakak minta maaf ya, dek..," ucap Bian.
Tama lalu mengangkat kepalanya dan beranjak dari bangkunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kakak Sempurna Untuk Saka || JENO × JISUNG√
Ficção AdolescenteDILARANG PLAGIAT!!! ❌ (𝐒𝐮𝐝𝐚𝐡 𝐓𝐀𝐌𝐀𝐓!) "Saka, dunia ini tempat dan waktunya cuma sebentar..," "Maafin kakak ya, Sa.. kakak harus pulang..," "Maaf, Sa.. kakak belum bisa jadi kakak yang sempurna untuk Saka," ~Tama.