10

8.1K 1K 50
                                    

by sirhayani

part of zhkansas

...

Padahal sudah waktunya istirahat, tetapi kami tak langsung keluar kelas karena baru saja ketua kelas membagikan kertas berisi pertanyaan-pertanyaan yang harus kami jawab.

Kulirik Denallie yang mengintip jawaban yang sedang Ivy tulis. "Heiii, masa isi ginian doang lo mau nyontek?"

Denallie mengerutkan kening heran. Bukan karena pertanyaanku, tetapi karena apa yang Ivy tulis. "Cita-cita pengin ke Mars? Vy, lo kok ngisinya ngasal, sih?"

"Itu nggak ngasal!" seru Ivy sembari menutup jawabannya dengan tangan. "Beberapa abad kemudian orang-orang bisa hidup di Mars, tauk!"

"Nggak mungkin!" teriakku. "Di semesta, satu-satunya planet yang bisa dihuni cuma bumi! Mau manusia nyari planet mirip bumi buat dihuni sampai kiamat pun nggak akan ketemu. Mau manusia pakai alat secanggih apa pun nggak akan ketemu juga. Beberapa abad kemudian, dunia ini tuh penuh sama populasi manusia. Semuanya penuh dengan bangunan sampai yang namanya tumbuhan dan hewan itu cuma sekian persen dari bumi. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Kesengjangan sosial bakalan lebih paraaah banget. Bahkan tempat hidup si kaya udah kayak di surga dan si miskin kayak ada di neraka. Sampai-sampai yang miskin tuh bakalan minum air rasa karat saking—" Aku tak bisa meneruskan ucapanku karena tangan Ivy yang membekap mulutku.

"Lo ngomong apa, sih, Ra?" tanyanya.

"Eh? Iya, ya." Aku bingung sendiri.

"Kayak lo dari masa depan aja terus nyeritain apa yang lo lihat," lanjut Ivy, membuatku hanya bisa meringis. Cewek itu mencondongkan wajah di atas jawabanku. Aku segera menutup kertas itu. "Lo pengin jadi apa?"

"Astronot."

"Serius lo? Ya kalau gitu, kita bisa sama-sama ke Mars!" seru Ivy dengan antusias.

"Hei, Vy, ngebet banget sih ke Mars!" Dan Dena masih heran dengan keinginan Ivy itu.

Aku belum menjawab pertanyaan mengenai cita-cita. Aku tak tahu ingin menjadi apa. Satu-satnya yang terlintas adalah dokter, tapi, hei, itu adalah cita-cita sejuta umat dan merupakan jawaban dari anak-anak yang belum tahu tujuan hidupnya apa.

Sejak kecil, aku ingin menjadi guru TK. Berubah menjadi guru seni. Berubah dan berubah lagi. Bingung dengan keinginanku yang tak jelas, apa aku membiarkannya mengalir saja? Sulit juga hidup tanpa tujuan. Kenapa harus menjawab semua ini?

Ah, aku ingin jadi ibu rumah tangga saja seperti Mama.

Kututup pertanyaan-pertanyaan yang belum ada setengah aku jawab itu dengan wajahku. Aku jadi mengantuk saking malasnya. Bahuku digoyangkan oleh Ivy berkali-kali sampai membuatku kembali menegakkan punggung dan memandangnya marah.

"Apaan, sih?"

"Kak Davi!" seru Ivy tanpa suara sambil melirik ke belakangku. Gerakan mulutnya yang jelas-jelas mengatakan Kak Davi membuatku jadi terheran. Apa aku salah mengartikan?

Atau jangan-jangan....

Aku menoleh dengan cepat dan benar saja! Kak Davi sedang berdiri di dekat pintu kelas sambil tersenyum ke arahku. "Eh, ternyata beneran kelas lo di sini?"

"Eh?" Aku menggumam. "Apa?"

Dia mendekat. Apa aku akan dibawa paksa lagi seperti kemarin? Ivy dan Dena terus mendorong lenganku. Cowok itu berhenti tepat di samping mejaku. Aku jadi tak bisa keluar karena Kak Davi yang menghalangi jalanku. Sementara di sampingku, ada Ivy dan Dena yang duduk di satu bangku.

"Bisa bicara berdua nggak?" tanya Kak Davi, membuat perasaanku semakin tak enak.

Aku berdiri di bangkuku, menginjak meja, lalu melompat turun ke lantai. Sebelum aku berlari keluar dari kelas ini, Kak Davi memegang pergelangan tanganku dengan erat.

"Kenapa, sih, Kak? Kita kan nggak ada urusan lagi," kataku heran sambil memukul-mukul tangannya. Dia malah terkekeh.

"Astaga. Cuma mau ngobrol bentaran. Kok lo takut, sih?" Dia menarikku, membuatku jadi terseret. Sepatuku bergesekan dengan lantai sampai di luar kelas. "Jalan yang bener, dong, Ra. Ada yang bikin gue penasaran. Jadi, ikut aja karena gue pengin ngobrol berdua bareng lo."

"Sssh!" Aku mendesis kesal dan akhirnya berjalan dengan benar. Meskipun begitu, aku masih berusaha untuk menarik diri dari cowok pemaksa di depanku ini.

"Hei, lepasin nggak!" seruku dan dia akhirnya berhenti. Aku pikir, dia akan melepaskanku. Namun, sayangnya tidak. Seruanku barusan bukanlah penyebab mengapa dia berhenti tiba-tiba, tetapi karena seseorang yang dia pandangi saat ini.

Kaisar.

Aku baru menyadari kehadirannya. Dia berdiri tak jauh di hadapan kami. Kira-kira sekitar empat meter dari hadapanku. Tak ada ekspresi yang tergambar di wajahnya, tetapi tatapannya tertuju pada Kak Davi.

"Ngapain lo?" tanya Kaisar.

"Nggak lihat?" Kak Davi mengangkat tangan kami yang menyatu.

Pandangan Kaisar mengarah tepat pada sepasang mataku. Aku refleks mundur, ciut. Kenapa dia menatapku dengan ekspresi marah? Hei! Aku tidak menggoda temannya, ya! Kak Davi yang datang tiba-tiba dan menarikku dengan santai seolah aku ini adalah troli super*ndo.

Dia tidak mengatakan apa pun saat mulai melangkah ke arah kami. Aku meneguk ludah. Perasaanku tidak enak. Satu-satunya yang dia pandangi adalah mataku. Intuisiku mengatakan untuk kabur, tetapi Kak Davi masih memegangku dengan erat.

Akhirnya, Kaisar berhenti di hadapanku. Dia memisahkan tanganku dan Kak Davi dengan paksa, lalu menarikku hingga wajahku menubruk dadanya.

Situasi ini....

KENAPA TANGANNYA ADA DI PINGGANGKU SEKARANG?

Apa yang dia lakukan? Apa yang dia pikirkan? Kenapa melakukan hal yang menjadi tontonan siswa-siswi lain? Bukannya dia sendiri yang melarangku muncul di hadapannya jika di sekolah, tetapi kenapa dia sendiri yang memunculkan diri?

Dan apa ini? Tangannya ... memeluk pinggangku dengan erat. Aku tidak bisa berkata-kata karena terlalu terkejut dengan situasi yang aneh dan tak biasa.

"Jangan macem-macem." Setelah Kaisar mengatakan hal itu entah kepada Kak Davi atau aku, Kaisar menarik tanganku dan membawaku menjauh dari koridor kelasku.

KENAPA ORANG INI MEMBUATKU BINGUNG, SIH?

Ada banyak yang melihat kami. Mereka akan salah paham. Aku khawatir akan muncul rumor aneh. Kupandangi tangan Kaisar yang menarik tanganku tanpa permisi.

Perasaanku jadi tak keruan.

"HEIII, KALIAN SEMUA NGGAK USAH HERAN KAYAK GITU, DONG!" teriak Kak Davi. Aku sampai menoleh saking kagetnya, tetapi Kaisar mempercepat langkahnya membuatku nyaris menubruk punggung cowok itu.

"KAISAR UDAH NUNJUKIN PACAR YANG DIA SEMBUNYIIN SELAMA INI. NAMA CEWEKNYA ADALAH TIARA, YANG LAGI DIA GANDENG DI SANA, TUH."

Hah...?

HAH?!!!

***


 

Time ParadoxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang