Aku segera turun dari motor sesaat setelah Kaisar mematikan mesin motornya.
"Lo marahan sama Papa?" tanyaku pada Kaisar sambil membuka helm.
"Nggak, tuh."
Aku tidak bisa melihat ekspresi wajahnya karena ada kaca hitam yang menghalangi. Intonasi suaranya juga seperti biasanya. Papa jadi dingin pada Kaisar saat sarapan tadi. Itu yang membuatku berpikir bahwa ada masalah di antara mereka. Jika Kaisar yang tak mengajak Papa bicara duluan, maka aku tak akan heran.
Ah, entahlah. Mungkin perasaanku saja.
"Beneran, nih?" tanyaku saat Kaisar membuka helmnya. Dia memandangku tanpa mengatakan apa-apa. "Ya udah," lanjutku lagi. Kulambaikan tangan pada Kaisar dan berbalik untuk menjauh.
"Mama ngomong apa kemarin?"
Aku berhenti. Kubalikkan tubuhku untuk melihat ekspresi Kaisar. Ekspresi wajahnya sekarang sulit kutebak. Aku memang bukan pakar ekspresi wajah, sih.
"Intinya, kita udah pada gede. Nggak boleh main di kamar," kataku.
"Kalau main di kamar kenapa?" tanyanya.
Apa dia sok polos sekarang? Atau memancing-mancing otakku untuk berpikir kotor? "Nggak kenapa-kenapa...."
"Jadi, lo nggak akan main di kamar gue lagi?"
"Iya, lah. Demi kebaikan bersama. Masih banyak ruangan di rumah."
"Kamar lo?"
"Itu masih termasuk kamar." Aku baru menyadari bahwa selama ini Kaisar tidak pernah bermain di kamarku. Dia hanya sekadar masuk saja waktu itu.
Pandanganku menangkap siluet dua orang yang baru saja lewat. Kutolehkan kepala dengan refleks. Mereka langsung mengalihkan pandangan dari kami. Sejauh mana mereka mendengarkan percakapanku dengan Kaisar? Aku khawatir mereka menyoroti persoalan main di kamar.
Harusnya, Kaisar melihat dua orang itu karena posisinya, tapi kenapa cowok ini malah bicara dengan santai? Aku pikir tidak ada orang, makanya dia bicara biasa saja seperti tadi.
"Hei, lo sengaja, ya?" tanyaku heran.
"Sengaja gimana?" Dia malah berbalik dan pergi. "Sana ke kelas. Nggak usah nongkrong di tempat lain."
"Gue bukan lo ya!" teriakku. "Lo sendiri mau ke mana? Kelas lo bukan arah sana."
Kaisar hanya menaikkan tangannya. Tanpa menoleh. Tanpa mengatakan apa-apa.
Aku melirik ke arah kanan dan kiriku. Ada saja siswi-siswi lain yang menjadikanku dan Kaisar sebagai sebuah tontonan. Yah, itu wajar jika berurusan dengan orang terkenal di sekolah. Aku segera ke kelasku dan tiba tanpa kendala. Dena belum tiba, apalagi Ivy yang langganan terlambat sekolah. Kusimpan tasku di atas meja, aku menaruh wajahku di atas sana sambil menatap pintu yang terbuka.
"TIARA!" Denallie tiba-tiba muncul dan berlari ke arahku. Dena memegang kedua lenganku dengan masing-masing tangannya, lalu menggoyangkan tubuhku membabi buta. "ASTAGA GUE BARU TAHU!"
Entah kenapa, perasaanku tidak enak. "Apa, sih?"
"KALAU SEBENARNYA LO DAN KAISAR ITU SAUDARA!"
Aku membelalak, terkejut. Aku segera berdiri untuk menutup mulut Dena yang sebentar lagi akan mengatakan sesuatu, tetapi dia malah menjauh dariku dan berlari keluar kelas. Kenapa dia malah lari ke luar kelas? Astaga. Dia itu paling susah diatur. "DENA!"
Dena berlari mundur. "DAN TERLEBIH LAGI LO DAN KAISAR SAUDARA KEMBAR!"
"DENA BERHENTI!"
"LAGIAN KENAPA LO NGEJAR GUE SIH?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Time Paradox
Teen FictionSELESAI ✔️ Aku memejamkan mata. Ingatan samar kembali muncul. Kegelapan dan sesuatu seperti petir muncul di mana-mana. Hawa panas, rasa takut, tangisan pilu yang terus memanggil-manggil papa. Rasa terbakar di kaki yang bekasnya sampai sekarang. Inga...