"Gue ... pengin lebih dari itu."
Aku menatapnya terkejut.
"Ya." Dia menatap ke dalam mataku. "Gue suka sama lo. Gue melihat lo sebagai lawan jenis. Beberapa bulan lagi kita tamat SMA. Walaupun masih lama dan gue juga nggak sabar, tapi gue akan nikahin lo saat itu juga. Gue nggak bisa diam terus. Sebelum lo diambil cowok lain."
Tidak. Tidak. Tunggu! Aku masih beradaptasi dengan semua perkataannya.
"Tiara." Dia menyangga dahinya di bahuku. "Gue cuma punya lo sekarang. Gue nggak mau kehilangan lo. Jangan sampai lo deket sama cowok lain. Gue nggak mau. Kita harus menikah tepat saat kita udah tamat SMA nanti."
Apa aku harus senang sekarang? Ya, aku senang. Saking senangnya sampai tak bisa berucap. Perasaanku terbalas, tetapi aku justru takut.
Aku takut semua tak akan bisa berjalan lancar. Segala mimpi buruk yang datang tiap malam, membuatku jadi pesimis bahwa semua tidak akan baik-baik saja.
Ke mana diriku yang selalu berpikir tentang hal-hal baik?
Rasa panas ini ... kembali disaat yang tidak tepat. Punggungku terasa terbakar. Aku menahan perih dan tangis, berusaha sebisa mungkin agar dia tak khawatir padaku. Kudorong dadanya agar dia menjauh dariku. Aku keluar dari ruangan itu dan berlari. Kubuka pintu samping dan keluar lewat pintu itu. Aku berhenti, berdiri di bawah hujan yang deras agar rasa panas di punggungku menjadi reda.
Aku tak mau mengatakan padanya tentang apa yang aku alami sekarang. Dia pasti akan khawatir lagi seperti biasa dan menyuruhku untuk berendam di bathtub.
Aku ingin berdiri di bawah hujan agar tangisku tak disadari olehnya.
Dia mendekatiku dan memegang kedua bahuku. "Lo ... mau kabur?"
Aku tertawa sambil menangis. Syukurlah, dia tak akan melihat air mataku yang bercampur hujan. "Ngapain gue kabur? Kalau gue kabur, memangnya gue akan kabur ke mana?" Aku berteriak agar dia mendengar suaraku.
Justru aku tak akan pernah kabur darinya. Untuk apa aku kabur? Sementara yang aku inginkan adalah tetap berada di sampingnya sampai mati. Bahkan aku memutuskan untuk tidak menikah jika dia menikah dengan gadis pilihannya.
Ternyata... perasaanku sebesar itu padanya.
Aku ingin menerimanya, tetapi perasaan takutku lebih besar karena mimpi-mimpi buruk yang terasa seperti sebuah ingatan masa laluku.
"Menikah itu bukan hal mudah." Aku beralasan.
"Selama ini kita hidup barengan terus, kan? Apa yang buat lo mikir nggak mudah?"
"Itu situasi yang beda." Hujannya mereda. Aku tak perlu berteriak lagi. Aku harus segera mengalihkan pembahasan ini. "Gue nggak bisa jawab. Itu terlalu mendadak."
"Padahal tinggal jawab iya, kan." Dia memegang kedua pipiku. "Jawab ya."
Sejak kapan dia jadi pemaksa?
"Enggak." Aku menjauhkan tangannya yang memegang pipiku.
Ini buruk. Perasaanku tak tenang. Semua yang terjadi belakangan ini pada tubuhku dan mimpi-mimpi buruk yang datang tiap malam seolah menjelaskan bahwa mimpi-mimpi buruk itu adalah kenangan buruk yang pernah terjadi padaku di masa lalu, tepatnya saat aku belum bertemu mama.
Aku memejamkan mata. Ingatan samar kembali muncul.
Kegelapan dan sesuatu seperti petir muncul di mana-mana. Hawa panas, rasa takut, tangisan pilu yang terus memanggil-manggil papa. Rasa terbakar di kaki yang bekasnya sampai sekarang. Ingatan yang tak jelas. Seperti berpindah. Aku berdiri di tengah jalan. Ruangan yang menyeramkan itu tergantikan oleh sinar lampu dari sebuah mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi.
Ingatan samar tentang masa laluku tak begitu jelas, tetapi aku menyadari satu hal.
Masa ini berbeda jauh dengan masa itu.
***
.
⏳
thanks for reading!
love,
KAMU SEDANG MEMBACA
Time Paradox
Dla nastolatkówSELESAI ✔️ Aku memejamkan mata. Ingatan samar kembali muncul. Kegelapan dan sesuatu seperti petir muncul di mana-mana. Hawa panas, rasa takut, tangisan pilu yang terus memanggil-manggil papa. Rasa terbakar di kaki yang bekasnya sampai sekarang. Inga...