11

8.4K 1K 58
                                    

by sirhayani

part of zhkansas

...

"Apa lo salah makan?" tanyaku, heran. Ini bahkan pertanyaan yang sama dan kesekian kalinya aku ajukan, tetapi Kaisar tak peduli dan terus menarikku. Apa yang akan siswa-siswi lain pikirkan tentang kami? Mereka memandang kami terang-terangan seolah Kaisar yang menarik seorang cewek adalah sebuah tontonan yang menarik.

Memang menarik, sih. Jika Kaisar menarik cewek lain dan aku ada di posisi sebagai penonton, maka aku juga tak akan lepas memandang Kaisar dan cewek itu.

Sambil nyesek dikit.

"Kaisar!" Kali ini aku agak berteriak, tetapi tetap saja Kaisar seolah tuli. "Lo robot, ya?"

Dia tak menggubris sama sekali. Aku tidak mengerti apa yang sedang dia pikirkan. Jalanan yang dia tuju menuju ke area belakang sekolah. Wajar dia membawaku ke sana. Bagian belakang sekolah adalah tempat terbaik untuk mengatakan hal yang rahasia ditambah lagi tempat itu yang paling sepi dibanding area sekolah lainnya.

Ketika kami tiba di sana, ada beberapa cowok yang menongkrong. Di antara mereka semua tak ada yang tak memegang rokok. Entah apa yang mereka tertawakan, tetapi tawa di wajah mereka itu langsung menghilang saat menoleh pada Kaisar yang menatapnya.

"Kabur, woi. Kabur!" seru salah satu dari mereka. Lima cowok itu lalu berdiri dari pososi jongkok, lalu lari terbirit-birit. Entah karena mereka takut karena ketahuan merokok atau takut pada Kaisar?

Kulirik wajah cowok yang masih memegang tanganku ini. Wajahnya tidak memiliki kesan preman, kok. Apa ini yang dinamakan karisma hingga membuat mereka semua segan sekaligus takut hanya dipandangi biasa saja oleh seorang Kaisar?

Kaisar menarikku, membuatku sontak melangkah maju dan hampir menubruk tubuhnya. Dia ... argh!

"Jangan deket-deket Davi. Kalau dia dateng, lo harus lari. Jangan biarin dia ada di sekitar lo walaupun cuma beberapa meter."

???

Kenapa...? Aduh, pusing!

"Iya, iya!" seruku. Aku iyakan saja. Anggap saja ini salahku karena mencari gara-gara duluan pada Kak Davi. Setelah ini, aku pastikan bisa lolos dari pandangan Kak Davi. "Tapi, kata-kata Kak Davi tadi itu bikin orang salah paham, loh. Kalian marahan apa gimana sampai-sampai Kak Davi neriakin omong kosong kayak gitu?"

"Nggak usah peduliin." Dia memalingkan wajah. "Biarin aja kayak gitu."

"Hah? Maksud lo gimana? Ngebiarin orang-orang mikir kalau kita—"

Dia membekap mulutku dengan tangannya, mendakatiku hingga nyaris tak ada jarak yang memisahkan kami. Dia menunduk dan berbisik di atas telingaku, membuat jantungku semakin berpesta ria.

"Lo terlalu berisik." Napasnya sampai terasa di telingaku. "Biarin aja."

Aku tak bisa menahan tubuhku karena lunglai. Tangannya memang sudah tidak berada di bibirku, tetapi yang menjadi masalah adalah tangannya itu berpindah ke pinggangku. Dia tidak menjauh sama sekali. Bahkan dia masih menunduk seperti sebelumnya.

Aku takut Kaisar tahu jantungku sedang berdisko.

Kalau mau berbisik, tangannya tak perlu seolah-olah sedang memelukku begitu, kan? Aku tahu dia takut ada yang mendengarkan pembicaraan kami, tetapi tidak sampai begini juga....

"Yang terpenting nggak ada yang boleh tahu kalau kita saudara tiri," bisiknya lagi. "Dan ingat, saudara di sini cuma di atas kertas. Sampai kapan pun lo bikan suadari gue."

Time ParadoxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang