33

5.7K 811 18
                                    

by sirhayani

part of zhkansas

...

Aku terkadang menyadari itu, tetapi sejak dulu aku berusaha denial. Sikap tak biasa Kaisar memang selalu membuatku berpikir sama dengan Dena, tapi setelah aku berpikir begitu aku pasti akan berusaha berpikir secara logika hingga pikiranku akan berada pada sebuah kesimpulan akhir, yaitu tak mungkin Kaisar menyukaiku.

Setelah Dena mengatakan kalimat yang membuatku terkejut, aku langsung mengatakan kalimat-kalimat sanggahan hingga akhirnya kami dihampiri oleh Ivy dan akhirnya membahas hal lain.

Om Kaisar dan istrinya sudah tidak ada di rumah ini ketika aku dan Kaisar pulang. Bibi mengatakan bahwa mereka pergi membawa koper mereka sekitar setengah jam setelah aku dan Kaisar berangkat ke sekolah.

Aku menuruni tangga di rumah yang semakin sunyi. Kaisar baru saja pergi ke sekolah untuk latihan basket.

Rasanya, aku tak bersemangat untuk hidup. Tanpa Mama dan Papa, rupanya aku seperti sebuah rumah panggung yang kehilangan dua tiang. Aku mengusap dahiku yang agak hangat, lalu berhenti di dinding perantara ruang makan dan dapur ketika mendengar percakapan antara Bibi dan Mbak.

Aku tak terlalu mengerti karena terkadang Mbak memakai bahasa Jawa. Namun, aku bisa menarik kesimpulan bahwa Mbak akan berhenti bekerja di sini alasannya karena ada seseorang yang mengajak Mbak bekerja di rumah orang itu. Sementara Bibi mengatakan bahwa akan tetap bekerja di rumah ini sampai Kaisar menyuruh Bibi untuk berhenti.

Aku duduk di meja makan setelah membawa botol minuman dari kulkas. Kutuangkan air botol itu ke gelas kaca sambil mengangguk pada Mbak yang baru saja keluar dari dapur.

"Hai, Mbak," sapaku.

"Iya...," balas Mbak sambil tersenyum, lalu melanjutkan perjalanannya keluar dari ruang makan.

Aku sulit akrab dengan Mbak. Rasanya Mbak membatasi diri. Selama ini, Mbak menjaga jarak seolah menganggap posisinya sebagai pekerja rumah tangga tak seharusnya dekat dengan anak bosnya.

"Lagi ngapain?" tanya Bibi yang sedikit terkejut melihatku. "Laper nggak? Mau Bibi masakin sesuatu?"

Aku menggeleng kencang, lalu aku berdiri dan kupeluk Bibi dengan penuh sayang. "Makasih, Bi. Masih mau bertahan di sini demi Kaisar."

"Ini demi kamu juga. Mana mungkin Bibi ninggalin kalian berdua. Bibi lihat kalian dari kecil sampai sebesar sekarang." Bibi mengusap ubun-ubunku. "Ibu dan Bapak nggak ada. Bibi nggak mungkin tega ninggalin kalian. Walaupun orang bilang kalian udah pada gede, tapi kalian tetap masih anak-anak di mata Bibi."

Bibi pernah cerita bahwa Bibi ditinggal menikah lagi oleh suaminya, tak memiliki anak, apalagi cucu. Aku selalu mengingat senyum di wajah Bibi ketika Mama menitipkanku dan Kaisar pada Bibi saat kami masih kecil dulu.

***

Rumah ini menjadi sepi semenjak Mama dan Papa pergi. Entah kenapa, aku tak bisa menangis lagi seolah air mataku telah habis terpakai di hari kepergian mereka. Bibi yang selalu berusaha menghiburkan. Satu-satunya orang dewasa yang bisa kami percayai.

Kutatap kaca jendela kamarku yang dihantam oleh hujan tanpa henti. Hujan di luar sana semakin deras saja padahal baru memasuki musim penghujan. Aku masih nyaman meringkuk di atas kasur, diselimuti oleh badcover tebal. Tercium bau khas pewangi kesukaan Mama. Aku mendekatkannya ke hidung dan membayangkan ada Mama di sini.

Aku tidak bisa tidur. Ini sudah tengah malam. Kupandangi jam dinding yang jarum pendeknya menunjuk ke angka 1, lalu aku menghela napas panjang.

Apa yang Kaisar lakukan sekarang? Apakah dia sudah tidur? Atau masih insomnia sepertiku? Aku turun dari tempat tidurku dan keluar dari kamar, lalu terkejut karena Kaisar berdiri di depan pintuku.

Time ParadoxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang