by sirhayani
part of zhkansas
...
Hampa.
Itulah yang aku rasakan saat melihat dua gundukan tanah baru yang bersisian.
Aku masih ingin menangis agar rasa sesak di dadaku menghilang, tetapi aku tidak lagi bisa mengeluarkan air mata sejak melihat wajah pucat Mama dan Papa untuk yang terakhir kalinya.
Padahal semalam kami masih berbincang, tertawa, dan saling berpelukan. Aku tidak menyangka kata-kata Mama dan Papa kepada Bibi untuk menjagaku dan Kaisar adalah sebuah amanah sebelum kepergian mereka ke alam yang berbeda.
Ada banyak orang yang datang melayat. Bahkan Dena dan Ivy rela izin sekolah demi menemaniku yang baru saja kehilangan kedua orangtua. Kupandangi makam di samping makam Papa yang merupakan makam mendiang mama Kaisar, lalu pandanganku beralih pada makam Kakek dan Nenek yang sedikit tertutupi oleh orang-orang berpakaian serba hitam.
Pandanganku akhirnya mengabur. Aku bisa merasakan bulir air mata terus mengalir di pipiku.
Kenapa semua pergi begitu cepat?
Kerongkonganku terasa sakit. Aku tidak bisa menahan air mataku yang terus berjatuhan dan terisak dengan kencang. Ivy dan Dena memelukku erat, tetapi aku hanya bisa berdiri dan berusaha untuk tidak terjatuh.
Kutatap Kaisar yang berdiri dengan tatapan datar menatap makam Mama dan Papa. Aku mengusap wajahku yang basah dengan punggung tangan. Keluarga besarnya ikut melayat, tetapi aku bisa melihat tak ada ketulusan dari tindakan tiba-tiba mereka. Para om dan tante Kaisar datang tak sepenuhnya untuk berbelasungkawa, tetapi juga mengambil keuntungan di balik musibah bagi Kaisar. Mereka mulai melancarkan aksi dengan bersikap seolah-olah mereka adalah keluarga yang baik.
Aku mendekati Kaisar yang tak menggubris siapa pun di sekitarnya. Seolah jiwanya sedang tidak berada dalam raganya. Meski tak ada ekspresi di wajahnya, tetapi ada begitu banyak luka di matanya. Baru kali ini aku melihat tatapan Kaisar yang seperti itu. Kaisar tak pernah melihat ibu kandungnya sejak lahir, lalu sekarang dia juga harus kehilangan Papa kandungnya dan juga Mama yang telah merawatnya hingga menginjak usia 17 tahun.
Aku berhenti di samping Kaisar dan kupegang tangannya dengan pelan. Dia menoleh, menatapku yang masih bersimpah air mata. Kugigit bibirku kuat-kuat agar tidak menangis di depannya, tetapi aku gagal dan berakhir memeluk Kaisar dengan menangis terisak.
Tak ada yang bisa aku lakukan selain menangis kencang sambil memeluknya. Kurasakan Kaisar balas memelukku dengan erat. Aku semakin terisak dalam pelukannya.
"Jangan sampai lo juga ninggalin gue," bisik Kaisar dengan suara gemetar.
Aku menggeleng kencang.
Aku juga akan pergi? Itu tidak mungkin terjadi. Tak akan pernah.
Untuk apa aku meninggalkan Kaisar disaat aku sendiri membutuhkan dirinya di sisiku?
***
Ini hari ketiga setelah kepergian Mama dan Papa, tetapi rumah ini rasanya sudah tidak aman. Aku segera keluar kamar setelah mengusap wajahku yang penuh air mata dengan tisu. Kuturuni tangga dengan buru-buru karena mendengar suara berisik di lantai bawah. Langkahku terhenti di anak tangga terakhir. Seorang laki-laki yang usianya tak berbeda jauh dengan Papa sedang mengatai Bibi dengan mulutnya yang tak bisa dia jaga. Dia adalah om Kaisar yang dan merupakan saudara dari mendiang mama Kaisar. Adik ipar almarhum Papa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Time Paradox
Fiksi RemajaSELESAI ✔️ Aku memejamkan mata. Ingatan samar kembali muncul. Kegelapan dan sesuatu seperti petir muncul di mana-mana. Hawa panas, rasa takut, tangisan pilu yang terus memanggil-manggil papa. Rasa terbakar di kaki yang bekasnya sampai sekarang. Inga...