Epilog

7.8K 287 6
                                    


"Mas dingin, ih!"

Perempuan yang meringkuk itu kembali menarik selimut untuk lebih menutup dirinya hingga sang suami memutar bola mata jengah karena dia sama sekali tak tertutup.

"Yang gak pakai penutup apapun, kan, aku. Kenapa kamu yang ribut dingin, sih?" gerutu suaminya itu.

"Gak pakai penutup apapun, apanya?! Baju kamu masih nempel begitu, kok."

"Ya emangnya kamu telanjang?"

Decakan kesal terdengar dari perempuan itu. Dia bergeser sedikit menjauh dari suaminya yang terasa menyebalkan.

"Sini peluk. Pasti hangat."

Tentu saja tawaran itu ditolak mentah-mentah oleh Seandra. Mungkin berbeda jika keadannya dia sedang tidak mengandung. Pasti Sea akan menyetujui tapi untuk sekarang boro-boro.

Memang kehamilannya ini amat aneh. Kenapa?? Sea dibuat bingung karena dia merasa kesal jika dekat dengan suaminya dan merasa ingin terus disampingnya dalam waktu bersamaan. Kaaann, menyebalkan sekali. Tapi ini anaknya sendiri yang menginginkan seperti itu terhadap bapaknya.

Kehamilannya pun sudah diberitahukan kepada para orang tua. Bahkan Mama Hana dan Mami Raisa sudah merencanakan akan menggelar syukuran untuk kehamilannya.

Oh iya, tentang pernikahannya. Sea akhirnya hanya mendaftarkan pernikahan mereka tanpa mau adanya resepsi-resepsi. Meski kedua ibu itu meminta dilaksanakan sehabis Sea melahirkan tapi tidak. Terang saja perempuan itu menolak. Habis lahiran jahitan belum kering, ada anak yang harus dia urus. Repot. Dia sudah menjadi ibu-ibu nanti. Lagipula suaminya sudah setuju.

Kata Ervan, yang terpenting Sea tidak meminta bercerai. Mau bagaimana pun dia akan mengikuti gadis itu, asal bukan pada perceraian. Duh, dasar si bucin tua itu.

"Matikan dong AC nya. Aku gak kuat," keluh perempuan itu. Dia bangkit dan duduk di sebelah suaminya yang tengkurap. "Mana remot AC?"

Namun dengan tidak tahu diri laki-laki itu malah mengedikkan bahu. "Aku gak bisa tidur kalau dimatikan AC nya."

Cih, lihatlah. Semenjak akan mempunyai anak, laki-laki tua itu semakin menyebalkan. Ervan terkadang bandel dengan tidak menuruti permintaan istrinya.

"Tapi aku kedinginan," balas Sea yang sudah semakin mendung, tanda-tanda sebentar lagi akan menangis.

Sea juga, semakin sensitif. Dia sering menyalahkan Ervan dan berkata kalau laki-laki itu sudah tidak sayang padanya.

Ervan bergerak membalikkan tubuh setelah membuka matanya. Dia membuka tangan menatap sang istri, menyuruhnya untuk masuk ke dalam pelukannya.

"Ya makanya sini aku peluk," katanya.

Sekarang giliran perempuan itu yang mengedik. "Gak mau. Aku tuh mual tahu, kalau deket sama kamu. Ini aja aku tahan."

Ervan tersenyum getir. Anaknya sedikit tega padanya. Padahal dia tidak salah apa-apa.

"Yaudah aku naikkan suhunya, deh." Ervan membuat sebuah penawaran.

Meski begitu, perempuan yang sudah seperti kepompong itu tetap menggeleng tegas. "Penginnya di matikan, bukan dinaikin."

"Kalau dimatikan aku kepanasan," kata suaminya tak suka.

"Di luar hujan, lho. Masa kamu gak dingin, sih?"

Ervan menggeleng membuat Sea berdecih pelan.

"Di Kutub sekalian tinggalnya sana!" katanya, membuka selimut lalu turun dari ranjang.

Ervan yang melihat itu hanya mengernyit tanpa mau menyusul. "Mau kemana?"

"Kamar sebelah. Males tidur sama orang ngeyel."

Love At First SightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang