"Terbang jam berapa nanti?""Jam sepuluh."
"Oke."
Perbincangan mereka harus berhenti di sana. Sebab sepertinya Ervan adalah tipe yang tidak ingin banyak omong ketika sedang makan. Mereka melanjutkan sarapannya dengan hening. Hanya beberapa kali saling pandang.
Ini sarapan pertamanya sebagai seorang istri. Dia malah sibuk merutuki dirinya yang terlambat bangun. Dan kedahuluan oleh suaminya. Dia merasa telah menjadi istri terburuk sedunia.
Saat dia bangun sudah tersedia sarapan lengkap di atas meja makan. Bahkan itupun dia dibangunkan oleh Ervan. Mungkin kalau tidak Sea akan tidur bablas hingga siang hari.
Tapi jangan menyalahkan dirinya sepenuhnya. Toh dia kurang tidur gara-gara lelaki itu. Semalaman Sea menahan rasa tidak nyamannya tidur di atas sofa. Yang panjangnya bahkan kurang dari tinggi badannya. Dia harus rela menekuk kakinya agar tak menjuntai ke bawah.
Meski sudah ubah posisi beberapa kali tetap saja matanya susah terpejam. Sea sempat menggerutu malam itu karena melihat suaminya yang anteng tidur nyenyak di atas kasur empuk. Mungkin saat hari menjelang pagi dia baru bisa tertidur.
Jahat banget, kan, Ervan sebagai suami.
Tapi untungnya saat Sea kesiangan bangun, Ervan tidak mengomel. Kalau saja itu terjadi gadis itu tidak akan tinggal diam. Dia akan benar-benar mencakar wajah tampan suaminya.
Sea menuntaskan sarapannya dengan minum susu yang sudah disediakan suaminya. Dan membereskan meja makan. Mencuci piring kotor dan yang lainnya meski Ervan sudah melarang. Tapi Sea tahu diri. Setelah enak tinggal sarapan, sekarang dia harus membalas dengan cara mencucikan piring. Kan, simbiosis mutualisme.
Niat hati ingin beres-beres untuk siap-siap terbang ke Bali, Sea malah dikejutkan dengan barangnya yang sudah masuk semua ke dalam koper Ervan.
Apa-apaan sih laki-laki itu. Memangnya dia tahu apa saja yang diperlukan Sea? Padahal baru saja Sea akan memuji sifat Ervan yang cukup mengagumkan pagi ini. Tapi harus sirna pujian itu dengan satu tindakannya yang membuat Sea kesal.
"Apa saja coba yang aku mau bawa?" pancing gadis itu yang dibalas tatapan remeh suaminya yang tadi sibuk menekuni laptop.
"Sudah saya siapkan semua yang pasti akan kamu butuhkan. Termasuk pembalut. Jangan khawatir."
"Bulananku masih lama, ngapain bawa begituan?"
"Mana saya tahu. Kan yang mens kamu. Kalaupun saya tahu, gak bakalan saya beli itu pembalut."
Apa?
"Pembalutnya beli sendiri?"
Ervan melirik sekilas istrinya. "Memangnya kenapa?"
"Enggak. Itu mas Ervan yang beli sendiri?" pertanyaan Sea hanya dibalas anggukan kepala. "Ih, gak malu?"
Ervan justru menggeleng. "Buat apa malu?"
Astaga. Sea tidak percaya. Dia saja seorang perempuan yang mengalami menstruasi terkadang masih merasa malu kalau membeli pembalut.
"Memangnya tahu aku pakai yang kayak gimana? Ukurannya? Mereknya? Memangnya tahu?"
"Enggak," jawab Ervan. Hampir saja Sea akan mengeluarkan suara untuk menyanggah tapi tidak diberikan kesempatan oleh laki-laki itu. "Saya tanya sama pegawainya, merek yang bagus. Sudah dapat rekomendasi, saya beli. Ada beberapa jenis ukuran, saya beli masing-masing satu."
"Satu pak?"
"Memangnya diperbolehkan beli satu pcs?!"
"Buang-buang duit banget deh. Mana jadwalku masih lama. Mau dipake sama mas Ervan?" Gadis itu mengomel tanpa berpikir terlebih dahulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love At First Sight
RomanceEnggak. Ini mustahil. "Apa? Mas bilang apa tadi?" "Menikah dengan saya. Jadi istri saya. Ya?" Seandra bahkan tak pernah mengira kalau tetangga dekatnya itu menaruh perhatian padanya. Dan sekarang apa? Dia bahkan diminta untuk jadi istrinya? Heck! Y...