Bab 18: Siasat

51 18 25
                                    

Enzi sempat rewel karena mengantuk, lucunya, anak itu menginginkan Hening yang menemaninya untuk tidur di kamar tamu. Nila yang tidak bisa berbuat apa-apa atas permintaan malaikat kecilnya hanya dapat memasrahkan Enzi kepada Hening. Tidak ada maksud buruk atau pun malas dari gadis yang menemani Enzi, malah dia senang bisa mencuri jam tidur dan tidak perlu melihat wajah Nila yang mengawasinya seharian, Hening merasa sangat diuntungkan di sini.

"Pak, padahal saya baru enak-enak mimpi makan pisang cokelat," celetuk Hening sambil mengupas buah apel merah di dekat wastafel. Dia dibangunkan oleh Raga setelah berhasil menidurkan Enzi hingga terlelap.

Sebetulnya pekerjaan Hening itu apa sih? Asisten Raga atau asisten rumah tangga? Sejauh ini ia hanya tahu cara menjahit akta, untuk input data sudah ada dua orang yang handle agar pekerjaan cepat selesai, kalau Hening masuk takutnya akan sedikit tersendat. Jadilah ia melayani Raga Tatkala Juang, bos sekaligus pacar pura-puranya itu tampak tidak masalah meski Hening merasa memakan gaji buta.

"Lalu saya harus menghadapi Nila sendirian? Keenakan di kamu," respon Raga sambil menyantap potongan buah apel yang sudah Hening kupas.

"Nila itu ipar Bapak, dia nggak ada hubungannya sama saya. Lagian, nanti kalau Enzi kebangun terus rewel lagi gimana?" tanya Hening hanya mencari alasan.

Raga yang duduk setelah menggeret kursi hingga dekat wastafel, menatap Hening penuh perhitungan. "Sudah ada ibu aslinya yang menjaga. Kamu mau gajinya saya potong?"

"Bercanda Pak," cicit Hening cepat. "Dikit-dikit potong gaji," gumam gadis itu setelahnya sambil menaruh potongan apel yang baru dikupas. Lagi pula Hening juga tahu jika mereka sedang dalam misi bersandiwara demi mendapatkan kepercayaan dari keluarga. Istilahnya, membangun kemistri sampai terlihat kompak di dalam status pura-pura pacaran ini.

Tiba-tiba dengan perlahan Raga melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Hening, menarik gadis itu untuk mendekat. Raga yang sedang duduk pun harus menengadah, menatap si gadis dengan sebuah senyum penuh arti; arti sebenarnya tentang keberadaan Nila yang kembali muncul dari kamar tamu.

Hening masih saja belum terbiasa dengan sikap Raga yang tiba-tiba menyentuh tubuhnya, entah itu memegang tangan atau memeluk; bersandiwara maupun bukan. Jika Raga atau Hening sudah bertingkah aneh, berarti di sana sedang ada kehadiran Nila, itulah rencana yang dimaksud Raga soal itu. Mau tidak mau Hening harus masuk dalam mode agresif.

"Sayang, mau lagi." Raga merajuk, ekspresinya sangat kurang dalam hal ini, tapi dia sudah berusaha sebaik mungkin. Sesekali pria itu melirik ke arah Nila yang menyilangkan kedua tangan, memperhatikan Hening dan Raga tidak jauh dari sana.

"Buka mulutnya dulu Mas," Hening memasukkan potongan apel ke dalam mulut Raga, "pinter sayangku." Gadis itu mengelus rambut Raga seperti seekor kucing, dia memilih untuk melihatnya begitu dari pada jadi geli sendiri.

Raga tampak mengunyah potongan buah apel dengan susah payah, tapi dia tampak kesulitan menelannya karena potongan itu masih terlalu besar.

Singkirkan tanganmu Ning, rambut saya berantakan, runtuk Raga dalam hati sambil tersenyum mengerikan, seperti badut di film horror.

Bapak harus bertahan sampai sore nanti, masih ada 5 jam lagi! teriak Hening dari dalam hati, merasa paham dengan ekspresi yang di keluarkan Raga.

"Kalian tuh setiap hari kerjaannya cuma pacaran ya? Lalu Hening itu nggak ada kerjaan lain gitu, cuma ngelayanin kamu doang?" Seperti ibu-ibu rempong yang doyan membicarakan keburukan orang, Nila mendekat dengan wajah penuh selidik. Pertanyaan itu dilayangkan kepada Raga.

Jika terlihat kaku pasti akan dikomentari dan menuduh ini-itu, tapi salah juga jika terlihat selalu mesra seperti ini. Urusan amat wanita satu ini.

"Mas nggak punya obat nyamuk apa? Berisik banget deh ada yang ganggu," ujar Hening sambil mengibas-ngibaskan tangannya ke sekeliling.

Nila mulai tersulut oleh omongan Hening.

"Saya punya cukup pegawai untuk mengurus kantor, Mbak. Tugas asisten ya ikuti perintah bosnya saja kan? Toh Hening juga pacar saya, kalau sedang senggang ya begini." Raga membela Hening seraya perlahan berdiri, lalu merangkul posesif pinggang gadis di samping dengan tangan kanannya. Pria itu tampak santai dan tidak ingin ambil pusing soal tuduhan apa pun yang dilayangkan Nila, tapi beda lagi kalau gadis itu telah menyinggung Hening.

"Oh, jangan-jangan kalian sudah tidur bareng ya? Harga diri kamu kemana, Ning?" Nila berucap tanpa dipikir, ekspresinya tampak jijik memantik emosi Hening. "Kasihan banget hidupmu Ning, Ning, jadi orang susah memang ngenes banget ya sampai jual diri segala."

Hening maju selangkah. "Tolong dijaga mulutnya ya, Mbak." Gadis itu menatap Nila penuh emosi, kilatan pada mata mengungkapkan segalanya. "Saya heran deh, dari dulu mulutmu itu selalu saja mengatakan hal ngaco, entah soal saya atau teman saya. Paham arti kata fitnah nggak sih? Lebih kejam dari pembunuhan!"

Sepertinya perhitungan Raga di sini sedikit atau bisa dibilang sangat meleset dari rencana awal. Pria itu mengira Nila hanya akan mengawasi mereka dan tidak bertindak sampai kelewatan. Tapi nyatanya wanita itu sudah melewati batas. Seperti batas kesabaran Hening yang sudah tidak bisa lagi terbendung.

"Lho, wajar dong aku berpikir kayak gitu. Kalian di dalam atau luar rumah saja kelihatan nempel banget sampai peluk-pelukan, berlebihan tahu nggak." Entah dorongan karena iri atau memang hanya ingin mencari gara-gara, Nila jengkel melihat tingkah Hening dan Raga. Namun sebenarnya ia cukup kesal karena hari ini tidak mendapatkan info yang berarti perihal hubungan keduanya, malah, dua sejoli itu terlihat layaknya sepasang kekasih sungguhan.

"Maaf ya saya mengungkit soal ini," Raga bersuara sambil menatap Nila. "Sampean saja dulu sebelum nikah sudah hamil duluan. Jadi sebelum memfitnah orang karena semua itu belum tentu benar, lebih baik coba perbaiki diri Mbak sendiri dulu."

Tanpa disengaja, Hening yang malah mendapatkan fakta kelam Nila. Gadis itu tertawa mengejek sambil menggeleng tidak habis pikir, kepalanya mulai terasa pusing sekarang.

Wajah Nila mulai merah padam menahan malu karena aibnya dibongkar oleh Raga di depan Hening. Tangannya mengepal dan napasnya mulai memburu. Di sini, seakan Hening dan Raga yang memojokkan Nila. Wanita itu lantas berbalik meninggalkan keduanya saat mendengar suara tangis Enzi yang terbangun. Dia kalah telak.

***

Sore itu kondisi rumah Raga telah kembali kondusif, setelah Nila dan Enzi yang pulang sudah sejak 2 jam yang lalu. Mereka jadi bisa mendiskusikan perihal Nila lebih awal, karena kemungkinan besar wanita itu akan kembali lagi besok. Sebetulnya Hening sempat merasa iba dan kasihan karena melihat Enzi yang gemas itu kelak akan mengetahui fakta pahit yang disembunyikan oleh kedua orang tuanya.

"Ini untuk apa Pak? Siapa yang mati?" Hening tersadar dari lamunan saat Raga menyodorkan sebuah buket bunga mawar mewah yang dibelinya lewat daring. Buket putih itu sangat cantik dan harum, pita yang menghias berwarna merah muda yang menambah kesan manis.

"Permintaan maaf soal Nila," ucap Raga santai.

Raga yang bergerak cepat memiliki ide seperti itu, sungguh tidak terpikir sedikit pun oleh Hening. Pria itu bukan tipe yang romantis, tapi perlakuannya tanpa dia sadari memang manis. Hening mengulum senyum kecil, sambil menyentuh satu kelopak bunga yang merekah indah, letihnya seharian ini saat menghadapi Nila, seperti hilang begitu saja.

"Sebenarnya kamu sama Nila itu ada apa? Tadi kalau tidak salah dengar, kamu sempat mengungkit soal masa lalu, emosimu jadi tidak terkontrol kalau bertemu dia. Kamu berkenan bercerita, Ning?"

***

Perundungan/pem-bully-an itu perbuatan tercela ya teman-teman, nggak keren sama sekali

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Perundungan/pem-bully-an itu perbuatan tercela ya teman-teman, nggak keren sama sekali. Kita sesama manusia harus saling mengasihi :D Jangan ditiru perbuatan si Nila ya!

MitambuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang