Cinta yang datang dengan terlambat. Satu kalimat itu sangat menggambarkan situasi sebuah drama yang kini sedang Hening tonton di sebuah aplikasi berbayar. Atensinya tampak serius menatap layar horizontal gawainya dengan earphone yang bertengger pada satu telinga sebelah kanan. Rasa-rasanya gadis itu ingin menangis kala melihat adegan pemeran pria di sana tersenyum pedih, menatap dari kejauhan sang pujaan hati yang tersenyum bahagia bersama pria lain. Hening menarik napas dalam-dalam, aktor pria itu sangat ahli memainkan perannya, perasaan merana sukses tersampaikan pada Hening.
"Nonton apa sih? Seru betul." Suara Raga menyela kegiatan Hening, pria itu tampak penasaran kenapa gadis dihadapannya bisa terlihat sangat serius dan kedua matanya berkaca-kaca seperti itu.
Hening sampai lupa jika dia sedang berada di sebuah restoran jepang, khusus ramen yang dijajakan meski ada beberapa menu lain yang masih berkaitan. Beruntung saat kejadian sebelumnya di perpustakaan perut Hening berbunyi, jadi fokus Raga terbagi dan memutuskan untuk mengajak gadis itu mengisi perut. Tentu Hening bernapas lega setelahnya.
Gaya restoran jepang itu sangat elegan, perpaduan warna merah dan hitam. Tempat makan itu adalah langganan Raga jika sedang ingin menyantap makanan jepang. Sebelum ini Raga pernah mengajak Aden. Bagi Hening, ini kali pertama dia datang ke sana untuk mencicipi masakan jepang, dia belum pernah makan ramen sebelumnya.
"Drama korea, Pak. Mau lihat?" Hening mengangkat sedikit gawainya ke udara.
"Mau makan masih sempat-sempatnya nonton drama, padahal ada saya, tapi di anggurin," ujar Raga sambil memperhatikan gerak-gerik Hening.
Gadis itu merasa tidak terima, lalu melepas earphone dan meletakkan gawai. "Bapak dari tadi nerima telepon dari klien kan? Telepon masuk terus, ya masa harus bengong ngeliatin orang sibuk angkat telepon? Tahu sendiri saya nggak punya kerjaan, alias gabut, yang ada bosan malah ketiduran. Salah lagi saya."
Terjadi lagi pertengkaran kecil diantara keduanya, jika dilihat, mereka seperti sepasang kekasih yang sedang beradu argumen. Entah kerena Hening yang lagi sensitif sebab mendekati tanggal datang bulan atau Raga yang sedang apes.
Makanan mereka akhirnya datang; dua mangkuk ramen original, satu porsi ebi furai, satu teh hijau untuk Raga dan satu minuman bersoda untuk Hening.
"Sudah, makan dulu, simpan ponselnya," titah Raga seperti sosok orang tua yang menceramahi anaknya. Dia mendorong pelan mangkuk milik Hening dan membagi sumpit yang sudah diberikan oleh pegawai di sana.
Enggan menjawab tapi dilakukan oleh Hening, dia menyimpan gawainya ke dalam tas lalu menerima mangkuk ramen yang terlihat menggiurkan. Aroma khas menyeruak buat isi perut kembali bersuara, untung saja Raga tidak mendengarnya karena kebisingan suasana sekitar.
Tidak sabar, Hening dengan ekspresi wajah berubah sumringah lantas bersiap menyantap ramennya. Soal sumpit, dia sudah pandai memakainya karena terbiasa makan mi ayam dengan benda kembar itu.
Ketika gadis itu sudah menyuap mi ke dalam mulut, sebuah ebi furai tiba-tiba mendarat pada pucuk ramennya, yang berasal dari Raga. Atensi Hening beralih ke arah pria yang ternyata masih bergeming menatapnya.
"Makan yang banyak," ujar Raga dengan tulus.
Hening tidak dapat berkata atas perlakuan kecil dari Raga yang ternyata berefek luar biasa untuknya. Bahkan ramen yang sedang dikunyah terasa sulit sekali untuk ditelan, untung tidak sampai tersedak.
***
Bisa dibilang, Hening dan Raga hari ini seperti sedang kencan. Berada di luar seharian hingga waktu menunjukkan pukul 7 malam, mereka melakukan aktivitas memanjakan mata melihat suasana ibu kota, sambil berbincang banyak meski obrolannya tidak menentu dan acak. Hening ingin memposisikan diri sebagai seorang asisten yang mengikuti kemana pun bosnya pergi—kecuali toilet—tapi jika acaranya hanya santai-santai begitu, masuknya makan gaji buta. Tapi tidak apa-apa, toh dia tetap di gaji, bisa bersenang-senang sehari dan tetap mendapatkan uang, mengapa harus pusing memikirkan soal tanggung jawab? Raga saja terlihat tidak masalah.
Keduanya berakhir di mall, suasana tidak terlalu ramai karena masih weekday. Raga sedang mengantri membeli krep, tampak antriannya panjang. Awalnya pria itu menolak dan menyuruh Hening untuk membelinya sendiri, tapi gadis itu beralasan kalau perutnya sakit karena mau datang bulan. Kapan lagi dia bisa mengerjai bosnya. Sedangkan Hening, kini duduk santai di kursi food court sambil sesekali menahan tawa melihat ekspresi kesal Raga.
"Eh, benar Hening ternyata, sendirian saja? Masih ingat saya kan?" Sontak Hening menoleh ke arah sumber suara dari seorang pria yang berhasil mengejutkannya.
Bener-bener ya, nggak suka lihat orang senang sedikit apa? runtuk Hening dalam hati, karma akibat mengerjai Raga datang secepat kilat.
Raut wajah Hening terlihat jika dia tidak suka dengan keberadaan si pria yang sangat ia kenal, Firman, kawan Aden yang dulu pernah Hening temui saat kencan buta. Pria yang memakai jaket abu dan celana pendek itu dengan percaya diri duduk begitu saja di depan Hening sambil mengulas senyum lebar.
Rasa-rasanya ingin sekali tangan ini mendarat dengan keras di pipinya, kalau bisa sampai berbunyi. Ngapain senyam-senyum segala sih, orang stres.
Hening menjauhkan dirinya, padahal tatapannya sudah dibuat seakan jijik melihat pria itu, tapi tetap saja yang namanya Firman tidak merasa ditatap demikian.
"Maaf, kayaknya salah orang deh Mas." Seulas senyum kaku terpatri pada wajah Hening seraya berdiri dan beranjak begitu saja dari sana. Ia mendaratkan bokong pada kursi lainnya yang masih kosong yang berjarak tidak jauh dari tempat duduk yang sebelumnya.
Meski Hening terlihat ketus, Firman tetap saja mengekor dan kembali duduk di hadapan gadis itu. Sungguh keras kepala. Hening pun mendelik dan merasa tidak habis pikir atas sikap Firman.
"Saya ada salah apa sih Ning? Sampai kamu segitunya, saat itu juga main ninggalin saya di kafe." Firman berujar seolah dia yang terluka di sini.
"Menurut Mas?" Masih sabar Hening meladeni ucapan Firman, walaupun aslinya ingin sekali berkata kasar.
Firman dengan tampang tidak berdosanya itu menggeleng cepat. "Saya sih merasa nggak ada salah ke kamu Ning."
Sabar, sabar.
"Ning, sebetulnya ada yang mau saya omongin." Firman memajukan tubuhnya hendak meraih tangan Hening namun gadis itu dengan cepat menarik tangannya. "Semenjak pertama kali kita ketemu, rasanya pikiran saya isinya kamu doang. Sempat nanya ke Aden, tapi katanya kamu sudah dapat laki-laki yang sesuai kriteria. Seperti apa sih pria itu? Paling tampangnya jauh di bawah saya kan, apa karena dia lebih kaya? Saya bisa belikan kamu tanah sekaligus rumah Ning!"
Hening menggeleng-geleng pelan. "Udah sarap kali ya ini orang."
Firman kembali mencoba meraih tangan Hening, raut wajahnya seperti kucing jantan yang sedang birahi, mengesalkan.
"Apa sih, nggak perlu pegang-pegang!" tegas Hening. Keduanya sempat menjadi perhatian beberapa orang di sana. Gadis itu pun buru-buru berdiri ingin pergi, tapi saat berbalik tubuhnya harus tertubruk dada bidang pemilik parfum woody note yang sangat ia kenali yang bercampur aroma krep cokelat dan keju.
"Maaf, Anda siapa ya? Kenapa mengganggu pacar saya?" tanya Raga penuh penekanan.
***
Hayo lho ini Firman main muncul aja lagi, apakah Raga akan marrrraaah besar?
KAMU SEDANG MEMBACA
Mitambuh
Romance[TAMAT] Hening Merona setuju pacaran pura-pura dengan Raga Tatkala Juang karena lelaki itu konon mampu menghilangkan kutukan yang menempel pada dirinya. Tidak hanya Hening yang punya kepentingan pribadi, Raga pun sama. Hubungan baru yang semula Heni...