Bab 36: Enzi Sakit

36 4 0
                                    

Kediaman keluarga besar Raga tidak sehening biasanya. Suara tangis Enzi yang meraung-raung membuat iba Prayan, Raga, Dokter yang datang dan juga baby sitter-nya. Pada kamar berukuran 5 x 7 terus menggema suara isak tangis Enzi, keadaan ini telah berlanjut selama beberapa jam, sempat dia sebentar saat Prayan mulai menghibur cicitnya, tapi tetap saja kembali menangis. Tidak ada yang berhasil menghibur malaikat kecil yang tengah kesakitan menahan perutnya yang terasa bergejolak, ditambah demam dan nyeri pada otot.

Di manakah sang ibu? Nila sedang pergi ke Solo untuk merawat Ibunya yang sedang dirawat di rumah sakit, beliau harus cuci darah dan sangat ingin anak dan mantunya datang menemani. Tentu saja Danar juga ikut terbang ke sana menggunakan pesawat kemarin lusa. Mereka sengaja tidak membawa Enzi ke sana karena dia tidak mau ikut dan ingin di rumah saja bersama kakeknya.

"Cepat kamu hubungi Hening," titah Prayan pada Raga, dengan raut wajah khawatir sambil menenangkan cicitnya di pinggir ranjang.

Raga mengecek arloji miliknya seraya mengangguk pelan mengiyakan ucapan Prayan, sudah pukul 10 lebih, seharusnya gadis itu sudah datang ke kantor.

"Mau sama Aunty Ning! Huwaaa ... Aunty Ning mana?" Enzi tampak meracau, memang buat terkejut saat mendengarnya. Bukannya sang ibu yang dicari, malah sosok Hening Merona.

"Halo, Ning? Kamu siap-siap ya saya jemput harus sudah siap, kalau ada kerjaan lempar ke rekanmu yang lain dulu," titah Raga kepada Hening di seberang sana seraya berjalan ke luar kamar Enzi mencari tempat yang lebih tenang. "Urgent, Enzi muntaber, dia kambuh lagi."

***

Rasa khawatir terpampang jelas pada raut wajah Hening, gelisah menyeruak jika belum bertemu langsung dengan malaikat kecilnya. Tidak dapat dipungkiri dia merasa Enzi sudah seperti anaknya sendiri. Langkah besarnya mendahului Raga yang juga berjalan cepat, gadis itu memasuki kamar tidur Enzi yang terbilang mewah hanya untuk ditinggali seorang anak kecil berumur 4 tahun. Kira-kira, luasnya sama dengan satu rumah Hening. Atensinya lantas tertuju pada Enzi yang masih rewel.

"Permisi," ujar Hening sopan pada Prayan yang masih setia menemani sang cicit. Dokter yang dipanggil pun sudah pulang, baby sitter bersiaga di dapur sambil membuatkan susu untuk Enzi.

Prayan mengulas senyum ramah, senang atas kedatangan Hening. "Masuk, masuk, Ning," ucap Kakek sambil perlahan berdiri dan mempersilakan gadis itu untuk duduk di sisi ranjang setelah salim. "Sudah dari subuh dia begini, detailnya sudah Raga jelaskan kan? Enzi minta ketemu kamu terus, tidak mau dirawat sama baby sitter, bahkan rayuan dari saya saja tidak mempan. Haduh maaf merepotkan kamu ya Ning ... kasihan cicit Kakek."

Hening menyeka keringat Enzi dengan kain tebal yang sudah tersedia di atas meja sembari menepuk-nepuk pelan bahu kecilnya. Enzi yang baru menyadari mulai tampak tenang meski wajahnya sudah memerah dan basah dengan air mata. Gadis itu tersenyum hangat membalas tatapan sendu Enzi.

"Nggih(Baik), tidak apa-apa Kek ... biar Ning yang coba merawat Enzi setelah ini," tanggap Hening sembari sekilas menatap Prayan dengan ulas senyum simpul.

Raga yang berdiri di samping kakeknya hanya bergeming memperhatikan interaksi Hening dan Enzi yang membuat hati nyaman.

"Nanti setiap hari Pak Dokter akan tetap datang untuk memeriksa keadaannya. Enzi tadi nangisnya tambah kencang karena tidak suka dengan kedatangan dokter, Ning, semoga kamu bisa membujuknya nanti," timpal Prayan menjelaskan keadaan. "Ya sudah, Kakek mau keluar dulu bertemu penjual yang menawarkan tanah di daerah Tangerang, kalau ada apa-apa hubungi Kakek ya."

"Nggih, Kek. Hati-hati." Hening kembali salim kepada Prayan, Raga pun juga melakukan hal serupa. Kakeknya Enzi itu pun berjalan keluar kamar meninggalkan Hening, Enzi, dan Raga di kamar.

Raga melangkah mendekat, maniknya melekat pada rupa Enzi yang masih terisak tetapi lebih tenang, kedua matanya bengkak karena terus menangis beberapa jam. Tangan mungil Enzi menggenggam jemari Hening, layaknya obat penenang, anak itu sudah kembali tenang dan terlelap tidur. Seharusnya obat yang diberikan oleh dokter sudah bekerja sejak tadi, tetapi sepertinya Enzi memang hanya rewel karena ingin bertemu Hening.

"Ning, ukuran bra milikmu berapa?" tanya Raga dengan tenang, tiba-tiba saja ketika suasana di sana sedang sunyi, di dalam kamar pula, ditambah ada seorang anak kecil di sana.

Hening dengan cepat menoleh ke arah Raga sambil menyilangkan satu lengan ke depan dada. Wajahnya menatap Raga penuh curiga, alisnya hampir bertaut menerima pertanyaan acak dari sang pria.

"Oh iya, sama lingkar pinggulmu juga," timpal Raga dengan tampang tidak berdosa.

"Mas Raga mau ngapain coba nanya-nanya soal begituan?"

***

"Kamu sedang apa?" Suara bariton yang khas sangat dikenali oleh Hening. Pria itu baru saja kembali dari kegiatan membelikan pakaian ganti untuk Hening. Di dapur, hanya terdengar suara dentingan sendok logam kecil dan gelas kaca yang saling beradu.

"Ini, bikin teh untuk Enzi. Teh pahit, bagus untuk ngatasin diare," ujar Hening sambil meraih termos untuk diisi air putih. "Enzi harus rutin juga minum oralit sama air putih biar nggak dehidrasi."

"Syukurlah sepertinya kamu sudah paham betul," ucap Raga.

"Aden dulu pas kecil pernah kayak gini juga, jadi masih ingat gimana cara Mama ngerawat Aden."

Raga berdiri di belakang Hening, geser sedikit, sembari mengangguk-angguk kecil. Dari belakang sana dia sudah dapat melihat semua kegiatan sang gadis karena perbedaan tinggi yang cukup jauh. Seperti jerapah dan anaknya-jika dideskripsikan sehalus mungkin.

"Pakaianmu sudah saya taruh di kamar Enzi ya. Semoga dalamannya juga pas, saya langsung menyebutkan ukurannya ke pegawai di sana sesuai ucapanmu." Info yang sangat bagus sekali dari seorang Raga Tatkala Juang.

Hening hampir saja menumpahkan air padahal baru mengisi termos dari galon. Fokusnya jadi terbelah karena kalimat dari Raga. "Padahal bisa Aden saja yang mengantarkan baju ganti, kenapa harus beli baru segala?" Gadis itu memang berencana untuk menginap di sana, karena hanya Hening yang bisa menangkan Enzi untuk saat ini.

Raga mengambil alih termos yang digenggam oleh Hening dan menutupnya dengan rapat setelah menyahut bagian atas benda itu dari dekat wastafel. "Iya tahu, saya lupa. Sudah terlanjur juga, kamu pakai saja nanti."

Hening hanya merespon dengan helaan napas pelan. Keduanya pun duduk bersebelahan di kursi makan, mereka jauh lebih santai sekarang karena Enzi benar-benar bisa beristirahat sebab kelelahan menangis.

"Untung saja ada kamu, Ning. Pusing membujuk Enzi dari tadi pagi tidak berhasil dan terus rewel, tapi kasihan juga lihat dia kalau sedang seperti itu," tutur Raga sambil bersandar. "Ini Danar dan Nila belum tahu kondisi anaknya, mereka sulit sekali dihubungi."

"Sudah biarin aja Mas nggak perlu dikabarin, dari pada nanti Nila malah kepikiran. Dia lagi ngerawat ibunya kan? Pasti repot banget, kalau Enzi sudah agak mendingan baru kabari mereka," ujar Hening memberi saran. Sebetulnya, gadis itu terbesit percakapan antara dia dan Enzi beberapa waktu yang lalu saat Raga pergi ke luar, mengenai Nila.

***

Pojok Author 🍯:

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pojok Author 🍯:

Halo Honey!

Aku update seminggu 2x yaaa setiap Jum'at dan Sabtu jam 6 pagi. Kalau mau baca lebih cepat bisa ke KaryaKarsa (link di bio) di sana udah TAMAT 50 Bab + 2 Bab spesial, hatur thank youuu 😉

MitambuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang