Bab 41: Sayani dan Prayan

28 6 0
                                    

Kedatangan Sayani ke Ibu Kota sejak kemarin malam membuat kediaman yang dihuni Hening dan Aden kembali ramai dan ceria. Rumah peninggalan suaminya itu selalu membuat dirinya rindu akan segala memori di masa lampau yang keduanya jalani hingga padad akhirnya ia harus menyandang status janda. Karena tubuhnya lumayan sehat untuk perjalanan jauh, maka ia pun merasa sudah waktunya untuk menjenguk anak-anak.

Pagi ini, di dalam kamar, Hening tampak menggigit bibir bawahnya sambil berusaha berpikir keras. Ia sudah rapi memakai pakaian kantor berwarna abu-abu, tapi dia harus menghubungi Raga terlebih dahulu karena dengan mendadak tiba-tiba Sayani ingin ikut ke kantor bersamanya.

"Mas," cicit Hening sambil menggenggam gawai yang diarahkan pada telinga setelah orang diseberang menerima sambungannya. "Mama masa minta ikut ke kantor hari ini, maaf aku lupa kabarin kalau Mama bakal ke sini dan baru sampai jam 7-an kemarin malam."

"Ya sudah ajak saja," tanggap Raga terdengar tenang dari seberang sana.

Hening melirik ke arah pintu kamar. "Nggak apa-apa? Mas bisa bilang ke Mama kalau kantor nggak boleh bawa keluarga—"

Raga terkekeh pelan. "Mana bisa begitu, Ning. Masa saya melarang ibu dari pacar saya untuk datang ke kantor?"

Gadis itu bergeming, menyelami perkataan Raga yang ada benarnya.

"Ah, feeling ibumu kuat juga ya. Kakek mau datang juga hari ini."

Kedua mata Hening mengerjap, sontak pula membuka mulutnya hingga menganga. "Aduh, terus gimana? Apa aku bujuk biar besok aja ke kantornya?"

"Tidak perlu. Malah ini kesempatan bagus untuk menunjukkan ke Kakek juga ibumu," jelas Raga.

"Ning! Ayo cepat berangkat! Lama banget kamu dandannya," teriak Sayani dari ruang tamu.

Tidak ada pilihan lain, Hening terpaksa akan mencoba memainkan sandiwara lagi. "I-Iya Ma!" jawab Hening setengah berteriak sambil menjauhkan gawainya. "Ya sudah Mas, aku mau berangkat dulu," lanjut Hening setelah mendekatkan gawainya kembali.

Duh, mbuh lah! (tidak tahu lah!) berangkat dulu saja, toh hari ini akan berlalu juga nanti, batin Hening dalam hati untuk memantapkan diri, lalu meraih tas kecilnya diikuti langkah lebar menuju pintu kamar.

***

"Kabar saya baik, Pak. Ya ... biasalah, penyakit umur. Tapi memang agak diluar logika karena sudah ke beberapa rumah sakit diagnosisnya beda-beda," jelas Sayani sambil menghela napas. "Jadi, ulu hati saya itu kadang suka terasa sakit, tapi nanti pindah nih rasa sakitnya ke dada lalu sesak napas."

Prayan tampak serius mendengarkan. "Itu langsung atau bagaimana Bu?"

"Jeda Pak, jadi seminggu sakit itu, nanti setelahnya beda lagi sakitnya, begitu. Duh, intinya ndak jelas. Jadinya sekarang saya rutin berobat ke pengobatan alternatif di kampung. Katanya ya ... ada yang iri sama saya." Sayani menggeleng pelan tidak habis pikir.

Gue nggak menyangka keadaan bakal lebih buruk dari yang dibayangkan, batin Hening sambil melirik ke kiri dan ke kanan secara perlahan. Ia menarik kedua ujung bibirnya, berusaha senatural mungkin menyunggingkan sebuah senyuman. Di hadapannya, ada Prayan yang sedang bercengkrama dengan Sayani. Keduanya pun bercengkrama soal hal-hal yang tidak masuk akal. Seperti diguna-guna seseorang dan lain sebagainya. Tidak dapat dipungkiri semua itu memanglah nyata bagi mereka yang pernah mengalaminya.

"Panjenengan (Anda) Jogja-nya daerah mana, Bu?" tanya Prayan dengan senyum ramah. Memang lebih baik dia tersenyum seperti itu, jadi sifat lembut seketika tampak darinya.

"Wonosari, Pak," ujar Sayani dengan sopan. Dia tampak menjaga sikap, untunglah Hening bisa bernapas sedikit lega. Senyuman selalu melekat pada rupa Sayani hingga kedua mata miliknya sedikit menyipit.

MitambuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang