Bab 15: Curiga

66 19 19
                                    

"Bagus ini, buka gerai di daerah ini sangat strategis," Prayan menunjuk berkas yang menjadi bahan ulasannya dengan Raga, "tinggal kamu perhatikan nanti bangunannya mau ke arah mana, cek juga apa benar jalan utama di situ, karena itu yang menentukan semuanya akan berjalan sesuai perhitungan atau tidak."

Malam itu, mereka sedang berdiskusi di rumah utama, suasana sedang sepi karena tidak ada kehadiran Danar dan keluarga kecilnya. Hanya ada beberapa pekerja yang sedang sibuk membuat makan malam dan melakukan kegiatan lainnya.

Raga mengangguk paham, meski membuka gerai di pinggir jalan—tempat strategis—tidak serta-merta pasti dapat untung, ada faktor lain yang mempengaruhi. Misal dari banyaknya orang yang berlalu-lalang, apakah ramai atau tidak. Kalau sepi, sama saja seperti menggali kubur sendiri, akan percuma dan malah merugi.

"Bagaimana dengan bisnismu yang di Jogja? Pecat saja si Ferdi itu, kamu tahu kan, Kakek sangat benci sama orang yang suka berbohong. Di dunia bisnis, orang tidak jujur seperti Ferdi layaknya tikus yang harus disingkirkan," ujar Prayan.

Mendengar satu kalimat telak dari kakeknya, Raga tercenung merasa tersindir seperti pelaku kejahatan, meskipun berbeda konteks di sini. Tapi poin yang disebutkan pas kena dirinya. Pria itu bergerak di kursi dengan gusar, sesekali memegang tengkuk dengan mengulas senyum tipis.

Sebelum meneguk gelas berisi air putih, Raga berdeham pelan. Prayan yang merasakan keanehan dari Raga pun menatap cucunya dengan heran.

"Iya Kek, nanti Raga akan segera urus itu." Sulit sekali rasanya menelan tegukan air barusan, sembari menaruh kembali gelas ke atas meja. Seulas senyum dicoba ia tarik paksa lalu membalas tatapan Prayan. Sebaiknya Raga harus menjaga ekspresi dan sikap untuk ke depannya, sebab sandiwara harus tetap berlanjut.

***

Hening dan Aden mengantarkan Sayani ke terminal bus, malam itu tidak terlalu ramai. Di dalam bus sudah ada banyak orang yang telah siap untuk berangkat, meski tadi sempat diundur keberangkatannya karena mesin tidak menyala dan mereka harus menunggu selama 30 menit untuk perbaikan. Hening pun memeluk ibunya dengan erat, sebetulnya masih ada trauma tersendiri jika berkaitan dengan alat transportasi; bus.

"Hati-hati ya Ma," ujar Hening sambil melepaskan pelukannya terhadap Sayani.

"Hati-hati Ma, Aden bakal kangen banget sama Mama." timpal Aden sambil salim kepada Sayani, ucapan barusan terdengar tanpa perasaan sungguhan, lantas ia mendapat dengusan dari sang ibu.

Sayani menatap kedua anaknya bergantian, ia menghela napas sambil tersenyum. "Aden, jangan bikin ulah lho, nurut sama kakakmu," ia beralih menatap Hening, "kamu hati-hati ya Ning, Mama jauh lebih khawatir sama kamu. Mama berangkat dulu, salam buat Raga ya."

Hening mengangguk, menatap kepergian ibunya yang menaiki bus. Aden dalam hati, masih sempat-sempatnya sang ibu mengingat soal Raga.

"Kenapa Ma?" Aden bersuara ketika melihat Sayani setengah berbalik.

"Ning, jangan lupa beneran sampaikan salam Mama ke Raga, jangan sampai nggak lho!" ujar Sayani mengingatkan.

Aden membuang muka sambil menggeleng tidak habis pikir, cinta sekali ibunya kepada Raga. Sedikit kesal, dia menendak sampah yang ada di dekat kakinya.

Hening mengerjap sambil mengangguk pelan. "Iya Ma, nanti pasti Ning sampaikan." Sayani pun tampak senang lalu melanjutkan langkahnya masuk sambil bersenandung pelan.

"Apa gue kasih nomor Raga aja ya ke Mama," monolog Hening sambil tersenyum miris.

Aden yang mendengar itu pun melotot tidak terima, keberadaan Raga di sini sungguh meresahkan bagi Aden. "Nggak perlu aneh-aneh deh Mbak, gue aja belum setuju punya ipar kayak dia, apa lagi jadi bapak tiri!" Berkat ucapannya, ia mendapat hadiah pukulan di pundak dari Hening.

MitambuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang