Keadaan kembali normal setelah kepulangan Nila si biang onar. Raga dengan penuh perjuangan berhasil melerai keduanya meski sempat menjadi sasaran jambakan antara Hening dan Nila. Hening sebetulnya kasihan melihat Enzi yang menangis seperti itu, karena belum pernah melihat Enzi benar-benar menangis dengan suara keras. Tapi apa daya, Nila selaku ibu kandungnya lebih berhak membawa pergi anaknya.
Selesai menjahit akta dan merapikan berkas ke dalam lemari besi, Hening meregangkan tangannya, pundak terasa pegal karena harus menggotong tumpukan file akta setebal kamus inggris yang masih dikali empat. Dia bolak-balik dari ruang kantor ke ruang penyimpanan berkas, meski tidak terlalu jauh tapi lumayan juga energi yang terkuras untuk itu. Beruntung, tenaga kuli Hening sangat bermanfaat kali ini.
"Ning, kemari," titah Raga yang menyembul dari balik pintu menuju rumahnya.
Baru saja Hening ingin mengistirahatkan bokongnya di bangku, dia harus kembali berdiri dan berjalan mengikuti Raga yang mendahului masuk. Punggung tegap pria yang berjalan di hadapannya tampak bidang, untuk Hening yang memiliki tinggi hanya 155 sentimeter, tentu membuat gadis mungil itu harus sedikit menengadah jika ingin menangkap wajah Raga dengan kedua mata hazel-nya.
"Aduh." Wajah Hening menubruk punggung Raga, hidungnya ia elus pelan karena terasa perih. Pria itu berhenti dengan mendadak.
Itu punggung atau papan cucian kayu sih, keras banget.
Raga berbalik lalu menunduk, ia melihat Hening yang meringis sambil memeriksa hidung miliknya, berharap tidak berubah jadi pesek.
"Kamu belum jawab pertanyaan saya kemarin, soal Nila," ucap Raga dengan tegas. Dia berjalan menuju ruang tengah dan duduk di sofa. Saat ini Raga tampak tidak terbantahkan.
Sesungguhnya persoalan ini cukup mengganggu Raga sejak kemarin. Waktu itu Hening terlihat enggan menceritakannya, tapi kali ini menurut Raga dirasa perlu untuk dibahas dengan serius. Awalnya ia menangkap interaksi antara Hening dan Nila cukup menarik dan sangat menghibur, tapi seperti yang dilihat, makin lama imbas itu berbelok juga ke Raga.
Hening mengekor, lalu ikut duduk di sebelah Raga, memang sudah saatnya dia bercerita sekarang. "Nila itu dulu kakak kelas saya waktu SMA, dia suka merundung adik kelas yang menurutnya mudah untuk dikerjai. Saya salah satunya." Mengingat perundungan yang dilakukan Nila, rasa kesalnya kembali mencuat, padahal baru saja mereda setelah fokus membereskan berkas.
Hening mendesah pelan. "Itulah kenapa emosi saya nggak bisa terkontrol kalau lihat wajah dia. Rasanya tuh Pak, saya ingin jambak rambut nenek sihir itu sampai botak! Karena dulu saya nggak bisa apa-apa, jadi pelampiasannya baru sekarang. Pas banget, Tuhan memang baik mempertemukan kami lagi, jadi saya bisa balas dendam."
Nila ialah musuh Hening, lalu Danar yang mana jadi suami Nila, ialah musuh Raga. Lucu sekali skenario antar dua pasangan ini, seperti sudah sengaja diatur semesta.
"Untung aja ada Enzi, kalau nggak ... aduh, rumah Bapak bisa berubah jadi kapal pecah, soalnya kami pasti baku hantam," timpal Hening setelah bercerita panjang.
Raga mendapatkan titik terang atas sikap Hening yang suka berubah drastis saat bertemu Nila. Jawaban itu terdengar wajar, Raga tentu memaklumi meski kalimat soal balas dendam terlalu berlebihan. Hening tidak akan benar-benar melakukannya kan? Memang, sikap Hening selama ini terhadap Nila adalah salah satu gerakan untuk membuktikan perkataannya bahwa dia serius.
***
Suara televisi meramaikan suasana ruang tengah, Raga dan Hening lelah membicarakan persoalan Nila, mereka pun memilih untuk mengisi perut dengan memesan dari aplikasi daring. Sop ceker menjadi pilihan, selama menyantap makanan tidak ada obrolan yang berarti diantara keduanya, masing-masing sibuk dengan makanan sambil menonton talk show. Setelah selesai, Hening seperti biasa yang mendapatkan tugas mencuci piring, Raga sudah bagian membeli makanan, jadi impas kan.
Terasa seperti surga dunia jika suasananya setiap hari begini, tanpa kehadiran nenek sihr bernama Nila. Hening sangat menyayangkan bagian itu, tapi ingin bagaimana lagi, kesepakatan antara Hening dan Raga telah terucap dan siapa sangka takdir mendorongnya masuk untuk memberikan kesempatan membela diri.
"Bapak ngapain?" Hening mengernyit, fokusnya beralih dari gawai ke arah Raga yang dengan seenaknya menaruh kepala di atas paha Hening yang berlapis rok kerja selutut berwarna abu-abu tua. Gadis itu menunduk, melayangkan ekspresi keberatan.
Raga memejamkan matanya sambil mengacuhkan Hening, tidak merasa ditatap horror oleh gadis itu. Ia tiduran terlentang di sofa sambil mencari kenyamanan terutama di area kepala.
Merasa tidak digubris, Hening menghela napas pelan. Percuma berkelit dengan Raga, pria itu akan melakukan apa pun yang dia inginkan. Agar tidak canggung, Hening coba mencari obrolan, sebetulnya sikap Raga itu cukup membuatnya tidak nyaman. Ingin bergerak juga tidak bisa, apakah hanya dia di sini yang merasa salah tingkah? Untung saja sudah jam pulang kantor, kini ia sedang menunggu hujan reda baru memesan ojek daring, tapi hujan di luar tidak kunjung mereda.
"Udah terbiasa kayak gini ya Pak sama cewek lain?" Kalimat itu terlontar begitu saja sambil menaruh gawainya di samping.
Pertanyaan itu berhasil menyita perhatian Raga, ia membuka matanya sambil menatap Hening dari bawah. Haruskah Hening bersyukur karena tidak muncul ekspresi yang menyatakan jika Raga tersinggung? Tapi muncul perasaan aneh yang menjalar saat pria itu diam saja. Lucunya, Hening merasa kesal sekarang.
"Iya, dulu saya sering begini sama perempuan lain," jawab Raga tampak tenang, seulas senyum tipis terbentuk tanpa Hening sadari.
"Oh," jawab Hening malas sambil bersandar dan menatap ke arah lain. Pemandangan di luar jendela jauh lebih menarik.
Sebentar, ngapain gue kesel? Dia jadi mempertanyakan diri sendiri sambil mengerjap bingung.
"Namanya Citra Ayu, seperti nama yang tersemat, dia cantik. Paling suka kalau dia sudah bercerita tentang lukisan abstrak favoritnya yang bahkan tidak saya mengerti." Raga kembali menimpali, ia memiliki maksud terselubung. Kini, memperhatikan raut wajah atau respon unik Hening telah masuk ke daftar favoritnya.
Gadis itu kembali menatap Raga penuh tanya. "Terus? Saya harus bilang apa Pak?" ketus Hening, seharusnya gajinya ditambah dua kali lipat karena mendengarkan curhatan bosnya itu.
Raga terkekeh mendengar respon Hening. Gadis itu lucu jika sedang mengkerucutkan bibirnya, dia kesal tapi enggan beranjak dari sana. Tapi seharusnya Hening tidak ada hak untuk merasa kesal.
"Kamu mau lihat nggak orangnya seperti apa?" Raga balik bertanya. "Itu orangnya." Pria itu menunjuk dengan dagu ke sebuah bingkai foto yang tergantung di atas TV.
Hening mengikuti arah unjuk Raga, ekspresinya melunak. "Ibunya Bapak?"
Raga mengangguk, tatapanya terhadap Hening seakan menerawang jauh ke dalam manik hazel gadis yang tengah menatapnya dari atas. Ekspresinya seketika berubah menjadi serius.
"Bahas soal keluarga saya, jadi bagaimana Ning, setelah sejauh ini kamu masih mau bertahan atau tidak?"
Keraguan menahan diri Hening untuk merespon.
Nila dan Danar, musuh terbesar hubungan mereka sedang gencar melancarkan aksi. Bagi Hening, semua itu sangat melelahkan, masa iya dia harus adu mulut setiap hari dengan Nila? Belum lagi serangan tidak terduga dari Danar di kemudian hari.
Gue sanggup nggak, ya?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Mitambuh
Romance[TAMAT] Hening Merona setuju pacaran pura-pura dengan Raga Tatkala Juang karena lelaki itu konon mampu menghilangkan kutukan yang menempel pada dirinya. Tidak hanya Hening yang punya kepentingan pribadi, Raga pun sama. Hubungan baru yang semula Heni...