Bab 9: Malu

77 20 28
                                    

"Bapak ngapain pakai cium-cium lengan saya segala sih?" protes Hening dengan suara berbisik sembari mendekatkan diri pada Raga, ia tetap menatap lurus sambil berjalan ke arah depan.

"Ibu saya dulu sering melakukan itu kalau ada tangan anaknya yang luka. Tidak perlu panik, seperti dicium komodo saja kamu," tanggap Raga sekenanya yang mulai melangkah masuk ke dalam kantor.

Rumah Raga dan kantornya bersebalahan, dari dalam rumah pribadi langsung ada jalan menuju kantornya, dan yang bisa ke luar masuk lewat sana hanyalah Raga dan para pegawai.

Hening merasa tidak puas dengan jawaban pria itu, ia takut jika sebuah gosip aneh tentangnya akan menyebar di kalangan pegawai dan membuatnya tidak nyaman saat bekerja. Belum juga mulai kerja dan mengenal orang-orang di sana, Hening tidak ingin kejadian saat SMA terulang kembali karena sebuah kesalahpahaman.

"Rita, ini Hening, asisten saya. Tolong ajarkan dia hal-hal dasarnya dan ajak berkeliling kantor, ya." Raga beralih menatap Hening, "Ning, ini Rita, kedepannya soal urusan kantor kamu bisa tanya ke Rita atau langsung ke saya, di sini tidak ada senior junior, semuanya sama. Saya harap kamu bisa akrab juga dengan yang lain."

Setelah berucap demikian, Raga meninggalkan Hening dan Rita untuk bertemu klien yang sudah menunggunya.

"Yuk, Ning, aku antar keliling sebentar," ajak Rita dengan ramah.

Kantor milik Raga bisa dikatakan luas, meski tidak sebesar rumah pribadinya. Ada ruang depan untuk menerima tamu dan ada toiletnya, lalu ruang tengah diisi tempat pegawai bekerja yang berkutat soal berkas, di sana bahkan ada mesin foto copy yang cukup menonjol. Kantor itu juga ada fasilitas pendingin ruangan, dihiasi lukisan-lukisan bunga dan pemandangan. Ruang paling belakang adalah dapur dan kamar mandi, tempat para pegawai beristirahat. Di sana banyak sekali tanaman hijau dan taman kecil berupa kolam ikan.

"Di sini nggak ada televisi, kata Pak Raga, biar pada fokus kerjanya. Tapi kalau mau dengar lagu dari HP, boleh." Rita menjelaskan sambil berjalan ke dapur untuk mengambil air, gadis itu berusia 4 tahun di atasnya. Rambutnya panjang, badannya sangat berisi, wajahnya sangat bersahabat dan sikapnya pun menyenangkan.

Hening mengangguk paham lalu menerima cangkir berisi sirup pandan, rasanya manis dan menyejukkan karena pakai es.

"Terima kasih, Kak Rita." Hening memang kurang pandai dalam berbasa-basi, dia hanya bisa tersenyum kecil.

"Eh, Rita aja. Walau pun aku paling tua di sini, teman-teman yang lain langsung manggil nama, kok," ujar Rita sambil menepuk pelan pundak Hening.

"Iya ... Rita." Hening tersenyum senang, sangat menyukai suasana di kantor ini. "Omong-omong, yang kerja di sini perempuan semua ya?" Ia cukup penasaran karena saat mengenalkan diri pada empat pegawai lainnya tadi, hanya ada pegawai perempuan di sana, mereka pun masih muda-muda.

Rita mendekatkan dirinya kepada Hening, ia memperhatikan sekelilingnya dan mulai berbisik. "Aku juga nggak begitu yakin, tapi bisa dipastikan Pak Raga punya alasan sendiri. Kami nggak terlalu dekat, tapi beliau orang yang baik. Pak Raga suka memberi bonus kalau kita lembur, uang makan juga sudah ditanggung kantor, lalu hari sabtu libur. Lulusan SMA kayak kami diterima begitu aja, dua saudaraku ada yang kerja di sini juga, malah ada yang belum tamat SMA. Pokoknya, Pak Raga itu The Best deh."

Hening menatap Rita yang sedang mengacungkan dua ibu jarinya, terlihat sangat mengagumi Raga sebagai atasannya.

"Oh iya soal kejadian kamu sama Pak Raga di dapur tadi, tenang, aku bisa menyimpan rahasia kok, sukses ya kalian berdua." Rita mengerlingkan satu matanya sembari tersenyum jahil.

Entah Hening harus bersyukur atau malu sekarang, ia hanya bisa pasrah sambil tersenyum paksa.

"Eh, aku balik kerja dulu ya, Ning." Rita tampak bergegas dan menyapa Raga sebelum menghilang ke ruang tengah.

MitambuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang