"Kamu lagi, kamu lagi," Nila berceletuk sambil memasang wajah masam sambil memutar bola matanya jengah, "memangnya ini rumahmu apa? Kamu nggak punya kerjaan juga sama kayak Hening?" timpal Nila seraya perlahan berdiri dan berkacak pinggang.
Awalnya, Aden ingin segera mencubit pipi Enzi, tapi harus urung kala celetukan Nila pas kena hatinya yang mudah tersulut api. Laki-laki itu ikut berkacak pinggang sambil menggeleng pelan, tidak habis pikir dengan sikap Nila yang selalu membuat ulah, padahal Aden sengaja mengabaikan keberadaan si Nenek Sihir.
"Lo lagi, lo lagi. Coba deh ngaca, Mbak. Sendirinya juga nongkrong di sini mulu, memangnya ini rumah lo? Tapi kalau Enzi sih boleh banget di sini setiap hari, iya kan ganteng." Aden akhirnya tetap beranjak memeluk Enzi dan dibalas serupa oleh anak itu, lalu duduk di hadapannya. Hening memilih diam membaca situasi yang masih terkendali.
"Den, lo ngapain ke sini sih?" Hening yang duduk di sebelah Aden setengah berbisik meminta kejelasan.
"Lho, saya itu ibunya Enzi, iparnya Raga, lah kamu sendiri siapa coba?" tanggap Nila tidak ingin kalah, wanita ini malah memperbesar masalah.
"Aduh dek, padahal kamu tuh manis banget tapi kok bisa punya emak kayak Nenek Lampir gitu sih. Kasihan ... kamu pasti tertekan banget jadi anak." Aden tidak menjawab pertanyaan Hening maupun Nila, dia memilih berceletuk demikian sambil mengelus helaian rambut Enzi dan berfokus padanya. "Gue juga nanti bakal jadi adik iparnya Bang Raga! Ya anggap aja sekarang lagi tahap uji coba, impas kan kedudukan kita setara."
Hening memukul lengan atas Aden sampai laki-laki itu mengaduh, gadis itu cukup kesal karena adiknya berbicara sangat asal. Seulas senyum tipis sempat muncul perlahan pada bibir kecilnya, tapi segera ia tarik kembali dan menggeleng cepat, mendengar Aden berbicara seperti itu saja sudah membuat hatinya berbunga-bunga, dasar Hening.
"Aduh, jangan mimpi deh kamu bisa jadi bagian dari keluarga Bimantara," Nila tertawa kencang, perutnya terasa geli mendengar penuturan Aden, "kamu punya usaha apa? Kerja di mana? Kayak saya dong, usaha tas branded, kumpul sama ibu-ibu sosialita."
Kali ini gantian Aden yang tertawa kencang yang dibuat-buat, hingga membuat Enzi yang lagi serius memasang lego harus tersentak kaget, kedua matanya berkedip pelan menatap Aden. Hening sampai menahan tubuh Enzi dan mengelus dada anak itu yang berdetak kencang, beruntung tidak menangis.
"Gue programmer Mbak, ngerjain projekan besar sama kawan-kawan seperjuangan. Modal gue ya otak, keberuntungan juga cukup tinggi, buktinya rezeki pasti ada aja, projekan banyak yang datang karena membutuhkan otak cerdas gue."
Hening mulai merasa pening. Kenapa jadi ajang menyombongkan diri begini sih? Apa nggak kasihan sama gue yang nggak bisa apa-apa selain menggambar dan nyusahin orang?
***
"Intinya sesuai penjelasan Bapak Pengki, kamu makan semua duit pajak itu, tidak perlu lah berdalih lagi. Buktinya sudah jelas, Bapak ini belum mendapatkan haknya karena ulahmu!" tegas Danar menggebu-gebu, jika diperhatikan jadi bukan seperti sikap seorang pengacara—tapi pengangguran banyak acara—melainkan preman komplek. Nila dan Danar memang sama saja, menghalalkan segala cara. Raga tahu perbuatan sepupunya sejauh ini hanya karena permasalahan 9 Triliun yang pernah Danar sentil waktu di rumah keluarga besar.
Danar bertindak hanya karena uang yang sebetulnya bukan menjadi fokus Raga. Kembali ia tekankan, semua ini demi melindungi gedung kesenian ibunya. Bisa saja Raga memberikan uang itu untuk Danar dengan cuma-cuma, tapi karena sikap sepupunya sudah terlanjur memantik pertikaian sampai sejauh ini, rasanya jadi tidak ikhlas kalau terus mengalah seperti biasa.
"Bapak tahu kan kalau ini bisa jadi pencemaran nama baik? Ditambah pemerasan. Saya bisa saja menuntut Bapak nanti," jawab Raga dengan singkat. Dia sengaja terus mendesak Bapak Pengki alih-alih menyangkal pertanyaan Danar sebab tidak akan ada habisnya. Menyerang Bapak Pengki yang tampak menunduk ketakutan adalah hal yang lebih efisien. Bapak itu bungkam, keringat dingin membanjiri tengkuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mitambuh
Romansa[TAMAT] Hening Merona setuju pacaran pura-pura dengan Raga Tatkala Juang karena lelaki itu konon mampu menghilangkan kutukan yang menempel pada dirinya. Tidak hanya Hening yang punya kepentingan pribadi, Raga pun sama. Hubungan baru yang semula Heni...