Bab 38: Mencair

38 5 0
                                    

"Sayang, maaf ya Mami baru pulang ... Enzi sih pas itu diajak katanya nggak mau." Nila memeluk sang anak dengan erat lalu perlahan melepaskannya seraya menatap manik Enzi dengan raut wajah khawatir. "Gimana nak keadaanmu? Masih ada yang sakit? Perutnya gimana, sayang?" cecar Nila yang kini duduk di pinggir ranjang milik Enzi.

Wanita itu baru saja pulang dari Yogyakarta setelah mendapat telepon dari Prayan soal keadaan anaknya yang sudah 4 hari sakit, sedangkan suaminya akan menyusul nanti setelah menyelesaikan pekerjaannya bertemu dengan klien. Betul saja seperti dugaan Hening sebelumnya, Nila langsung mengatur jadwal untuk pulang sehari setelahnya, meninggalkan sementara sang ibu yang kini ditemani oleh sepupunya.

"Enji sudah sembuh, Mami," jawab Enzi dengan nada yang terdengar lucu sambil menatap Nila yang tampak khawatir dan merasa bersalah meninggalkan anak semata wayangnya yang sakit muntaber.

Prayan dengan tenang masuk ke dalam kamar sambil membawa segelas air putih. "Enzi, minum air putih dulu," titah Prayan. Gelas itu diterima oleh Nila dengan ucapan terima kasih dan perlahan membantu Enzi untuk meneguknya.

"Kamu lihat sendiri kan, Enzi sudah bugar kembali sekarang. Semua itu berkat Hening, dia rela repot-repot merawat anakmu dengan senang hati," jelas Prayan sambil mengelus pucuk tendas Enzi dengan lembut. "Habis ini ke ruang tengah ya, ada yang ingin saya bicarakan," timpalnya, ditujukan pada Nila.

***

Akuarium berjejer rapi di samping kiri dan kanan ketika Hening dan Raga memasuki sebuah restoran seafood. Saat awal masuk sudah disuguhi pemandangan hewan laut yang segar, beberapa jenis ikan sampai lobster masih hidup menjadi daya tarik restoran itu. Mereka bisa memilih sendiri hidangan laut yang diinginkan, dari ukuran kecil sampai ke jumbo, benar-benar menaikkan selera makan—tentunya jika dibayangkan setelah versi matangnya, bukan yang masih bergerak di dalam tangki seperti itu.

Hening dan Raga memesan lobster berukuran besar, terbayang kan kalau harganya hampir menyentuh angka 1 juta. Raga yang memilih itu, Hening hanya bisa menganga sambil menggeleng pelan dengan pilihan bosnya, toh dia yang keluar uang, jadi Hening larang pun percuma. Jadi, gadis itu memilih menu cumi telur asin, untuk minumnya mereka berdua sama, es teh manis lalu tambahan satu jus mangga untuk Raga, ia sedang ingin minum jus juga.

Selagi menunggu hidangan dibuat, keduanya memilih tempat duduk di bagian pinggir yang terdapat pemandangan langsung ke taman mini dengan rerumputan hijau. Mereka duduk bersebelahan memilih untuk menghadap langsung ke arah taman, kegiatan melihat yang hijau-hijau sangat membantu merilekskan tubuh dan pikiran, apa lagi yang merah-merah untuk alat pembayaran, tapi kesampingkan itu dulu. Setelah bertemu klien tadi, sangat cocok memang kegiatan selanjutnya diisi dengan menyantap makanan.

"Mas, lain kali kita makan di pecel lele aja ya," ujar Hening tiba-tiba. Karena sedari tadi kepikiran harga lobster yang nantinya, sebentar kagi, akan mereka santap.

Raga menoleh sambil menaikkan sebelah alisnya. "Memangnya kenapa kalau di sini? Kamu tidak suka?"

"Bayangin, 1 juta itu bisa dapat berapa pecel lele, Mas? Sayang banget cuma untuk makan lobster asam manis," jelas Hening bermaksud mengingatkan Raga. "Lagian, Mas Raga bukannya suka koleksi ikan? Kok malah suka banget sama makanan seafood?"

"Kejauhan pemikiranmu, Ning." Raga menggeleng pelan mendengar penuturan Hening. "Tidak ada hubungannya dengan seafood, apa lagi lobster sama anak-anak saya di rumah. Mereka itu ikan hias yang tidak bisa dimakan, beda lah. Lagi pula, lele sama saja itu juga ikan."

"Ya intinya Mas itu harus berhemat. Masa hanya untuk makan harus keluar uang sampai jutaan?" ujar Hening sambil mengkerutkan kening.

Kalau sedang seperti ini, jadi persis ibunya, batin Raga seraya ulas senyum kecil.

MitambuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang