"Selamat datang di kamar didikan bangsawan" ujar Penasehat agung dengan mata tajamnya.
Dira dan Vara saling tatap. Satu detik... lima detik... sepuluh detik setelah keheningan yang cukup lama gelak tawa terdengar menggelegar di seluruh ruangan.
"Hahahahahaha"
Kedua insan yang baru lima belas menit keluar dari penjara itu memegangi perutnya menahan cekikikan yang semakin keras.
"Apa? Kamar didikan bangsawan katanya? Haha" ujar Vara sambil terus tertawa.
"Lebih mirip asrama putri, bedanya ranjangnya aja yang gak bertingkat" ujar Dira. Ia lebih dulu menghentikan tawanya digantikan dengan wajah datar yang sengaja Ia pasang.
"Kalian akan dididik menjadi bangsawan selama dua puluh empat jam kedepannya. Tak kan ada lagi tawa setelah ini" ujar penasehat agung sambil menyunggingkan senyumnya.
Puk...puk
Penasehat agung menepuk tangannya sebanyak dua kali. Tak menunggu lama, sekitar sepuluh orang pelayan masuk ke dalam kamar dengan membawa nampan pakaian. Tidak hanya itu, dua orang di antara mereka memakai pakaian berbeda dan membawa bilah rotan di tangannya.Perlahan tawa Vara terhenti. Wajahnya berubah seketika, begitu melihat beberapa pelayan yang masuk ke dalam ruangan. Ia menjadi lebih tenang dan berwibawa. Wajah yang pertama kali Dira lihat saat di dalam sel penjara.
"Besok pagi bawa mereka ke aula singgasana kaisar. Pastikan tidak ada kesalahan atau kepala kalian akan jadi bayarannya" ujar penasehat agung sembari menatap tajam para pelayan disana.
Pelayan itu menunduk hormat sebagai jawaban.
Tak membuang waktu lagi, penasehat agung itu keluar dari ruangan bersama prajurit yang mengikutinya tadi. Persis setelah mereka keluar, pintu selebar enam meter itu tertutup rapi dan terkunci dari luar. Tak ada seorangpun yang bisa masuk dan tak ada juga seorangpun yang bisa keluar. Sekalipun pemilik kekuatan karena pintu itu disegel sendiri oleh kaisar dan hanya orang-orang yang diizinkan yang bisa memasukinya.
Seorang pelayan yang berpakaian berbeda memberi isyarat pada pelayan di belakangnya. Mereka mengangguk lalu mulai melakukan tugasnya.
Empat orang berjalan ke arah Vara dan empat orang lagi berjalan ke arah Dira. Mereka menuntun kedua gadis itu berganti pakaian.
Dira yang memang tidak suka berinteraksi dengan siapapun langsung menolak dan menendang para pelayan yang mendekatinya. Ia sangat membenci pelayan. Mereka semua munafik.
Dua pelayan yang berpakaian berbeda itu menatap marah. Ia mengangkat bilah rotannya dan memukulkannya pada lengan Dira.
Plak... plak...
Bilah rotan itu dua kali mengenai lengannya. Ia meringis menahan sakit. Pelayan itu memukulnya tepat pada luka sayatan yang baru saja mulai mengering. Alhasil darah kembali mengucur di lengannya. Dira memegangi lengannya dan menatap pelayan itu penuh dendam."Kalian semua lihat? Jika disini ada yang berani menentangku, bilah rotan ini tidak akan segan-segan mendarat di tubuh kalian" ujar pelayan yang kalau di tilik pastilah pelayan tertinggi di istana ini.
"Siapa kau seenaknya memerintahku? Kau memangnya orang tuaku? Bahkan orang tuaku saja tidak pernah memerintahku" jengkel Dira. Apakah ini bentuk hukumannya? Di siksa secara perlahan.
Plak...
Lagi lagi bilah rotan itu mendarat di lengannya."AKU? PENDIDIK UTAMA PARA BANGSAWAN. BIBI EM" tegasnya lantang. Ia menatap Dira seakan siap untuk memakan gadis itu.
"Dalam waktu dua puluh empat jam kalian semua akan menjadi lebih bermoral dan siap untuk menjadi selir kaisar" ujar pelayan yang baru saja menyebutkan namanya, Bibi Em.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wrath Of The Savior (End)
FantasyBagaimana jadinya kalau seorang gadis pemarah tiba-tiba bertransmigrasi ke tempat asing bak negeri dongeng? Itulah yang saat ini dirasakan oleh seorang Sania Nadira, gadis bermanik coklat, berpipi tembem dengan minus akhlak, otak lumayan cerdas, pem...