Suara riuh yang berkecamuk memenuhi ruangan besar nan megah. Para pelayan berlalu lalang melayani setiap pejabat yang datang. Hiruk pikuk suasana aula membuat seorang Sania Nadira terganggu.
Ia berjalan memasuki aula dengan pakaian yang sangat sederhana. Gaun hitam polos yang sedikit usang beserta topi putih yang menutupi seluruh wajahnya. Itu pakaian yang di sediakan kaisar untuknya. Bagi Dira itu tidak masalah. Apapun jenis pakaiannya tak kan ada yang sesuai dengan selera Dira. Dia lebih suka memakai celana panjang dan hoodie untuk menutupi lekuk tubuhnya.
Ia berjalan melewati para pejabat. Namun ada yang aneh, semua pejabat menatapnya dengan tatapan sinis. Tidak seperti biasanya. Tapi tak perlu di pedulikan.
Saat hendak menaiki tangga Aula menuju tempat duduknya, tubuh Dira sengaja di senggol hingga Ia terjatuh ke lantai.
"Ups, maafkan aku tuan putri, aku tidak melihatmu karena tergesa-gesa," itu Guinevara dengan pakaian biru cerah yang mewah dan mahkota emas yang tergeletak di kepalanya. Mahkota? Berarti dia putri mahkota yang ditetapkan?
Dira berdiri dengan di bantu Haciya. Ciya geram dengan sikap Guin seolah tak bersalah.
Dira menarik nafasnya menahan emosi yang ingin meledak. Ia harus berlaku baik saat ini.
"Tidak apa-apa," balas Dira datar.
Guin mengerdikkan bahunya dan berjalan lebih dulu. Ia menduduki bangku yang sebelumnya di pakai oleh Dira. Ia duduk seolah bangku itu memang miliknya.
Dira berjalan menghampiri Guin.
"Maaf tuan putri, ini tempat dudukku," ujar Dira dengan nada sesopan mungkin.
Guin menatap Aurora dengan raut tak suka. Ia menyunggingkan senyumnya seolah meremehkan.
"Sejak kapan tempat ini menjadi tempatmu tuan putri? Aku melakukan aliansi pernikahan resmi dengan kerajaan Saxpire dan statusku adalah putri mahkota. Jadi, tempat ini sudah seharusnya menjadi tempatku," ujar Guin diakhiri dengan senyuman yang meneduhkan. Membuat setiap orang yang menatapnya terkagum akan keramahan dan kecantikannya. Kerajaan Gracia memang gudangnya wanita cantik.
"Sombong sekali. Sejak kapan kau di tetapkan menjadi putri mahkota?," bukan Dira yang bersuara. Melainkan Haciya yang terlihat geram.
"Sudahlah Haciya. Dia memang putri mahkota dan sudah seharusnya duduk di tempat ini. Maaf atas ketidaktauanku putri mahkota," ujar Dira sedikit membungkuk.
Guin tersenyum cukup ramah. Tapi entah itu senyum asli atau palsu.
"Tak apa. Hanya saja, pelayanmu sangat lancang. Dia harus di beri pelajaran setimpal agar tidak selancang itu padaku," Guin menatap Haciya.
"Syala," panggil Guin. Syala datang dengan membawa cambuk yang cukup besar.
"Kaisar datang," teriak seorang pengawal memberi instruksi. Semua orang yang ada di aula menunduk hormat kecuali Dira, Haciya dan tentunya Elgar. Kaisar brengsek seperti dia tidak pantas menerima hormat.
Kaisar menduduki singgasananya dengan di layani oleh pelayan baru. Bukan lagi Alina.
"Berdirilah," ujar Kaisar memberi instruksi.
Semua yang ada di aula berdiri dan sudah pada posisi duduknya masing-masing. Hanya Dira seorang yang berdiri tanpa tau dimana posisinya.
"Tuan putri Aurora. Ada apa?," tanya Kaisar saat melihat Aurora hanya berdiri di tengah aula bersama pelayannya.
Guinevara sudah lebih dulu menghadap pada kaisar sebelum Dira sempat menjawab.
"Hormat yang mulia kaisar. Yang mulia, izinkan hamba memberikan hukuman pada pelayan tuan putri Aurora yang sudah bersikap lancang," ujar Guin memohon.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wrath Of The Savior (End)
FantasyBagaimana jadinya kalau seorang gadis pemarah tiba-tiba bertransmigrasi ke tempat asing bak negeri dongeng? Itulah yang saat ini dirasakan oleh seorang Sania Nadira, gadis bermanik coklat, berpipi tembem dengan minus akhlak, otak lumayan cerdas, pem...