Elgar mengepalkan tangannya kuat. Dia sudah kalah dari awal. Dia terlalu menyombongkan diri. Padahal dia hanya salah satu target dari permainan catur Kaisar.
Kamar luas yang Ia tempati hanya sebagai lambang. Identitas pangeran miliknya hanya sebuah identitas palsu. Pada kenyataannya, kasih sayang yang dia harapkan dari kaisar hanya harapan semu.
Dia sudah kalah, kalah dari permainan yang diatur oleh kaisar. Seolah menyiksanya dengan menyegel kekuatannya, mengurungnya di kamar oskos dan memandangnya penuh kebencian belum cukup membuat kaisar puas.
Sekarang dia harus menjadi budak seorang wanita. Dia menyesal menjadi lemah. Dia tak bisa melindungi yang seharusnya dia lindungi.
Disaat seperti ini, Ia hanya ingin menemui dia. Kakinya melangkah keluar dari kamar. Langkahnya pasti dan tak ada keraguan.
Beberapa menit berjalan, kakinya berhenti di depan pintu. Ia menjadi ragu. Banyak yang mengganggu pikirannya. Namun Ia mengusir semua keraguan itu. Membuka pintu perlahan sambil menampilkan wajah dingin miliknya.
Tanpa di sadari, seseorang tengah memperhatikannya dari jauh sambil mengepalkan tangannya menatap tak terima.
Di dalam kamar pelayan, Dira sedang menulis beberapa yang Ia dapatkan dari ingatan acak milik Aurora.
"Hormat pada pangeran ke tujuh," ujar pelayan yang berada di dalam kamar.
Dira menutup bukunya. Ia berdiri dan berbalik ke belakang. Wajah dingin milik Elgar langsung menyambutnya.
"Perkiraanku benar. Kau akan datang ke sini malam ini," ujar Dira mengeluarkan sebuah senyuman samar.
Elgar hanya menyunggingkan senyumnya.
"Ayo, ku bawa kau ke suatu tempat," ujar Dira. Ia menarik tangan Elgar keluar dari kamar pelayan. Tak ada penolakan, pria itu hanya diam sambil mengikuti langkah Dira.
Pelayan yang berada di dalam kamar kembali melakukan aktivitasnya. Mereka sudah terbiasa dengan kedatangan tuannya secara tiba-tiba. Lagi pula, kediaman pangeran ke tujuh terpisah jauh dari aula utama Istana.
Dira melepaskan tangan Elgar saat tiba di tempat tujuan. Malam yang penuh bintang di tepi danau. Dira mengajak Elgar keluar dari istana.
"Danau?," tanya Elgar.
"Tentu saja itu danau. Kau kira gurun pasir," gerutu Dira.
Elgar mendengus kesal. Bukan itu yang dia maksud. Kenapa wanita ini bodoh sekali.
"Ayo, aku akan menunjukkan sesuatu padamu," ujar Dira. Ia berlari ke tepi danau dengan diikuti Elgar.
Sebuah perahu telah terparkir di sana. Dira menaiki perahu itu terlebih dahulu.
"Naiklah," ujar Dira saat melihat Elgar hanya berdiri menatapnya.
Elgar ikut menaiki perahu. Dira melepas tali yang mengikat perahu dan mulai mendayungnya. Seumur-umur, baru pertama kalinya Ia menaiki perahu.
Perahu itu bergerak tak seimbang. Dira bahkan mendayungnya dengan salah.
"Dasar bodoh. Kau mau membuat kita jatuh ke air," kesal Elgar. Dia mengambil pendayung di tangan Dira lalu mendayung perahu itu agar bisa melaju seimbang.
Saat berada di tengah-tengah danau, Dira menghentikan Elgar.
"Berhenti disini," ujar Dira. Elgar menghentikan dayungannya.
Dira terdiam cukup lama sambil memandangi air danau yang tenang.
"Sekarang hari ulang tahunmu. Buatlah sebuah harapan," ujar Dira setelah beberapa menit.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wrath Of The Savior (End)
FantasyBagaimana jadinya kalau seorang gadis pemarah tiba-tiba bertransmigrasi ke tempat asing bak negeri dongeng? Itulah yang saat ini dirasakan oleh seorang Sania Nadira, gadis bermanik coklat, berpipi tembem dengan minus akhlak, otak lumayan cerdas, pem...