13-Ilusi yang terasa nyata

346 19 0
                                    

Elgar membaringkan tubuh dingin Dira di atas ranjangnya. Ia kembali menyalurkan tenaga dalamnya pada Dira.

"Uhuk..." darah segar keluar dari mulutnya akibat memaksakan tubuhnya menggunakan seluruh kekuatannya.

"Tuan" ujar Kendrik. Ia mengeluarkan seluruh tenaganya sembari menyalurkannya pada Dira.

"Tuan, kau tidak boleh mengeluarkan tenagamu lagi. Berhentilah, biar aku saja yang melakukannya" ujar Kendrik.

Namun tak diindahkan oleh Elgar.
"Kau tidak boleh mati, kau harus hidup" ujar Elgar. Darah segar semakin banyak keluar dari mulutnya. Racun penyegel kekutannya mulai bereaksi menggerogoti organ dalamnya.

Seperti percuma, tubuh Dira tak merespon sedikitpun. Tubuhnya tetap dingin. Denyut nadinya semakin melemah.

Sedangkan di alam bawah sadarnya.

Dira berada di taman bermain yang di penuhi anak-anak yang sedang bermain bersama orang tuanya. Ia menatap ke sekeliling, penuh canda tawa anak-anak yang masih polos. Tanpa beban, tanpa ada ketakutan, ambisi. Hanya bermain dan bahagia.

Matanya tertuju pada ayunan yang sedang diduduki oleh sepasang suami istri. Tangan mereka melambai memanggil Dira sambil tersenyum.

"Mama, papa" gumam Dira. Ia berlari ke arah ayunan itu dan langsung memeluk keduanya. Senyumnya begitu lepas menghampiri kedua insan itu.

"Ma, pa. Kemana aja" ujar Dira sambil mengeluarkan air matanya. Sarat akan rasa rindu.

Wanita yang tengah duduk di ayunan membawa Dira ke pelukannya.
"Kamu kenapa nangis? Mama gak pergi kemana-mana" ujar wanita itu sambil mengelus surai hitam milik Dira.

"Hari ini kita habiskan waktu untuk bersenang-senang. Oke?" Wanita itu melirik suaminya.

"Papa punya hadiah buat kamu" ujar pria di sampingnya. Ia turun dari ayunan lalu mengeluarkan sebuah kado kecil dari sakunya.

"Tadaaaaaa. Kamu buka ya sayang" pria itu menyerahkan kado yang terkesan sangat mini itu pada Dira.

Dira menerima kado itu lalu membukanya perlahan. Sebilah surat. Dira membuka surat itu. Hanya satu kalimat.

'Kenangan'

Dira menatap kedua orang tuanya.
"Ini apa pa?" Tanya Dira pada pria di depannya. Pria itu hanya tersenyum.

"PA...MA..." ujar Dira. Matanya kembali mengeluarkan cairan bening yang menggantung di pelupuk matanya. Tidak rela untuk jatuh meski setetes pun.

'Kenangan' ada beberapa dari mereka yang belum usai, tapi di paksa menjadi kenangan. Menyakitkan tapi itulah kenyataannya.

Taman bermain berputar cepat seiring kata kenangan itu melebur menjadi kenyataan.

Dira saat ini berada di rumah sakit. Lampu ruang operasi menyala. Seorang pria yang sudah menginjak kepala tiga tengah menunggu dengan khawatir.

Seorang dokter keluar dari ruangan sambil membawa dokumen di tangannya.

"Hanya satu di antara mereka yang bisa di selamatkan"

"Selamatkan istriku" ujar pria itu. Ia langsung menandatangani dokumennya tanpa banyak berfikir.

Namun di dalam sana, seorang wanita yang berada di ruang operasi, memilih menyerahkan nyawanya untuk menyelamatkan anaknya. Buah hatinya harus hidup, dia harus merasakan indahnya dunia.

Lampu ruang operasi mati. Dokter beserta perawat keluar sambil menyampaikan kabar duka itu.

"Istrimu memilih mengalah demi bayinya. Dia perempuan, sehat dan cantik seperti ibunya" ujar sang dokter sembari membiarkan pria itu memasuki ruangan operasi.

The Wrath Of The Savior (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang