Epilog

377 20 4
                                    

Waktu berlalu begitu cepat. Tahun demi tahun berganti tanpa bisa diulang kembali. Seolah ingin menutup luka lama sesegera mungkin.

Dira menatap apartemen yang pernah Ia tempatinya cukup lama. Dia akan mengubur semua kenangannya di apartemen ini. Dia akan memulai semuanya dari awal. Membiarkan semua kenangan yang pernah terjadi menghilang begitu saja.

"Masih lama?," Kakek sudah tak mau meninggalkan Dira sejengkalpun. Bahkan saat ini, saat Dira ingin mengunjungi apartemennya. Harus selalu di temani oleh kakek. Dia takut Dira kembali drop dan berakhir di rumah sakit lagi.

"Kakek jelas-jelas sibuk. Aku kan udah bilang aku bisa pergi sendiri. Tapi kakek kekeh mau nemenin aku," celetuk Dira dengan wajah masamnya.

"Kamu selalu melawan orang tua. Pokoknya hari ini, kamu harus setuju kakek jodohkan. Toh kamu juga sudah bekerja cukup lama," Kakek tak ingin di bantah. Dia ingin segera melihat cucunya menikah.

"Aku gak mau. Ini udah tahun berapa kek? Masih aja main jodoh-jodohan," Dira tak mau kalah. Dia tidak akan pernah setuju.

"Sudah berapa banyak lamaran pria yang kamu tolak? Sepuluh Dira. Sudah sepuluh lamaran kamu tolak. Kamu sudah seperti orang yang patah hati berkepanjangan. Umur kamu sudah gak muda lagi. Mau sampai kapan kamu seperti ini hah? Atau kamu mau kehilangan kakek dulu baru mau nikah?,"

"KEK, jangan gitu dong," Dira menarik nafasnya dalam-dalam. Bohong, mengubur kenangan itu sebuah kebohongan besar. Pada kenyataannya, dia tetap tak bergerak maju. Dia masih bersama kenangan itu. Kenangan yang begitu indah sekaligus menyakitkan.

"Nak, kamu percaya sama takdir?," tanya Kakek memengang pundak Dira. Ia menatap Dira serius.

Takdir? Dira tersenyum getir. Tentu saja Ia percaya. Takdirnya sebagai orang terpilih sudah Ia jalani. Takdir yang menurutnya tidak adil.

Dira mengangguk dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Takdir adalah kata yang menyakitkan.

"Takdir tidak akan menghianati pemiliknya. Tidak selamanya takdir buruk yang mengikutimu. Dalam roda kehidupan, akan ada takdir baik. Kamu harus percaya takdir baik akan datang menghampirimu," Kakek menepuk pelan pundak Dira. Ia tersenyum diakhir kalimatnya. Ia turun lebih dulu dari apartemen dan membiarkan Dira menikmati waktunya.

"Takdir baik? Apakah benar-benar akan mendatangiku?," gumam Dira pelan. Ia menarik nafasnya dalam-dalam.

"Aku harap kau bisa membawa kedamaian bagi ketiga kerajaan disana. Aku juga berharap kau hidup bahagia dan bebas sesuai keinginanmu," Dira melepaskan senyumnya dengan tulus. Dia harus merelakannya bahagia meski tanpa dirinya.

❤❤❤❤❤

D

ira kembali dengan wajah kusut dan masam miliknya. Kakeknya tetap kekeh menjodohkannya setelah kemaren Ia kembali menolak lamaran seorang pengusaha muda. Tidak, Dira tidak memikirkan tentang pernikahan saat ini. Dia hanya ingin menikmati hidup.

"Pokoknya saat bertemu keluarga mereka nanti, kamu harus menjaga sikap,"

Dira mengangguk pelan. Bertahan sedikit lagi saja. Nanti juga akan Ia tolak perjodohan ini. Siapa yang berani memaksanya? Kakek? Mudah saja. Dia tinggal kabur lagi dari rumah.

Mereka sampai di sebuah cafe dengan nuansa alam yang bebas dan nyaman. Kakek mengajak Dira ke tempat meja yang sudah Ia pesan.

"Mereka sudah sampai. Ayo buruan," Kakek menarik pelan tangan Dira yang berjalan gontai. Ia sangat malas membahas perjodohan ini.

"Bu Clara, maaf kami telat. Sudah menunggu lama ya," kakek terlihat tak enak. Ia yang membuat janji malah dia yang telat.

Dira terlihat acuh.

"Gak papa pak. Kami juga baru nyampe. Oh iya kenalin. Ini anak saya namanya Gara," Clara tersenyum hangat saat memperkenalkan anaknya pada kakek.

Dira malah berdiri di belakang kakeknya sambil memutar bola matanya malas.

Kakek menarik Dira ke depan. Ia merasa malu saat ini. Sikap Dira sangat keterlaluan dan tak sopan sama sekali.

"Ini cucu saya namanya Dira," Kakek memperkenalkan Dira. Ia menyenggol bahu Dira agar mau berkenalan dengan mereka.

"Gara," pria itu menyodorkan tangannya lebih dulu.

Deg...
Suara itu, tidak mungkin dia kan?

Dira mengangkat kepalanya untuk melihat siapa pemilik suara itu. Jantungnya berpacu dua kali lipat. Wajahnya terlihat syok dan air mata menggenang di pelupuk matanya. Mulutnya terkunci hanya untuk mengucapkan sepatah kata saja.

"Kek, izin bawa cucu kakek bentar boleh?," tanya Gara tersipu malu. Rasanya tidak pantas Ia mengatakan ini pada orang yang baru pertama Ia temui.

"Oh gak papa. Silahkan... silahkan," Kakek justru kegirangan sendiri.

"Maaf," gumam Gara. Kemudian Ia menarik tangan Dira untuk mengikutinya.

Dira tak menolak. Kakinya mengikuti langkah Gara menuju taman cafe yang cukup sepi dari pengunjung.

"Kamu kok nangis? Ada apa?," Gara menatap lekat manik Dira yang sudah menumpahkan air mata.

"Kamu gak setuju dengan perjodohan ini ya? Gak papa kalau kamu gak setuju. Aku bisa bilang sama mama buat batalin perjodohan kita. Jangan nangis lagi," Gara tersenyum manis menatap Dira.

"Wajah yang sama namun orang yang berbeda. Apa yang kau harapkan Dira. Elgar sudah bahagia bersama Aurora," batin Dira.

Ia terisak kecil. Takdir baik? Bukankah takdir itu kejam. Disaat Dira ingin mengubur semua kenangannya bersama Elgar, disaat itu pula takdir mengirimkan orang dengan wajah yang mirip dengan Elgar.

"Kenapa menangis ketika melihatku?," tanya Gara.

"Takdir benar-benar kejam terhadapku," gumam Dira. Air matanya sudah mengalir deras. Dia benar-benar merindukan sosok pria kejam dan bermulut pedas itu saat ini. Dia sangat merindukannya hingga berhalusinasi mendengar suaranya. Ia berhalusisasi melihat wajahnya. Dira terlalu merindukannya.

Gara menghapus buliran bening yang mengalir di pelupuk mata Dira.

"Aku tak pernah menyangka Sania Nadira yang pemarah bisa secengeng ini. Harusnya kau bahagia setelah berhasil menyelamatkanku. Apakah kau menyesal sekarang?," Gara manatap Dira dengan sorot penuh kerinduan.

Dira menatap Gara lama. Tidak, dia bukan Gara. Dia Elgar sang kehancuran. Sorot matanya, nada bicaranya, mata indah miliknya. Dia Elgar Latio Saxius, pria yang selama ini ada di dalam benak Dira. Pria yang selama ini Ia rindukan.

"Aku mencintaimu, Sania Nadira," Gara tidak lebih tepatnya Elgar mengecup kening Dira yang masih terdiam kaku. Kemudian memeluknya erat menunjukkan betapa Ia sangat merindukan gadis itu.

Dira membalas pelukan Elgar tak kalah erat. Ia berharap ini sebuah kenyataan.

"Aku juga sangat mencintaimu Elgar Latio Saxius,"

Siapa yang tau perjalanan waktu, bisa saja mereka datang ke mimpimu kemudian menghilang esok paginya.

__________

Lunas ya ekstra part nya😊

Jangan lupa voment🌸🍀

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 09 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Wrath Of The Savior (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang