Dira membuka matanya sembari menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk ke dalam matanya. Matanya langsung bertemu dengan manik hitam seseorang yang Ia kenal.
"Tuan putri, akhirnya anda bangun," ujar Haciya antusias.
"Pelayan, bawakan bubur untuk tuan putri. Katakan pada yang lainnya kalau tuan putri sudah siuman," ujar Haciya.
Dira mulai kebingungan saat ini. Seingatnya, Ia terkena panah beracun. Lalu, Elgar datang membantunya. Dia yakin itu Elgar, tapi kenapa Ia berada disini?
"Kita ada dimana?," tanya Dira bangkit dari tidurnya dengan di bantu Haciya.
"Tuan putri, anda berada di kediaman timur, yang mulia kaisar yang memberikan kediaman ini," balas Haciya.
"Dimana Elgar? Dia baik-baik saja?," tanya Dira lagi. Dia tidak mungkin salah lihat. Dia mengenal suara Elgar dengan sangat rinci.
Haciya mengerutkan keningnya. Ia tak mengenal orang yang dikatakan oleh Aurora.
"Maksudku pangeran ke tujuh? Apakah dia yang membawaku kesini?," tanya Dira ingin segera dijawab.
"Tuan putri, apakah anda lupa apa yang terjadi?," Haciya balik bertanya.
"Apa yang terjadi padaku?," Dira justru bertanya lagi. Tak memberikan jawaban.
"Anda pingsan di taman kerajaan. Beberapa pelayan yang lewat mengenal pakaian pengantin tuan putri lalu membawa tuan putri ke kediaman timur untuk dirawat," jelas Haciya mencoba mengingatkan Aurora mengenai apa yang terjadi.
Dira tidak mungkin salah mengingat. Dia terkena panah beracun dan merasakan sakit yang luar biasa.
"Apakah aku keracunan?," tanya Dira lagi.
"Tuan putri, tabib mengatakan anda hanya kelelahan karena perjalanan jauh. Dan juga, karena menguras tenaga dalam terlalu banyak menyebabkan ketahanan tubuh anda melemah," jelas Haciya. Seorang pelayan membawa semangkuk bubur dan menyerahkannya pada Haciya.
"Tuan putri, anda tidak boleh terlalu banyak berfikir. Nanti akan mempengaruhi kesehatan tubuh anda," lanjut Haciya.
Dira merasa ada yang aneh. Terakhir kali Ia yakin sekali Elgar yang menyelamatkannya. Rasa sakit akibat tertusuk panah benar-benar nyata. Dan juga, Elgar yang terlihat lebih kesakitan dari dirinya. Tidak bisa, Ia harus menyelidiki masalah ini.
"Oh ya, bagaimana dengan wajahku? Apakah mereka melihat wajahku?," tanya Dira.
"Tuan putri, tak ada yang berani membuka penutup kepalamu. Lihat, hanya aku yang berani membukanya. Jadi tak ada yang melihat wajahmu," ujar Haciya dengan kesabaran setebal harapan orang tua.
"Aneh, Alina jelas-jelas telah membuka penutup kepalaku. Elgar, apa sebenarnya yang kau rencanakan. Tidakkah kau tertarik pada Aurora? Aish merepotkan" batin Dira.
"Tuan putri kau harus beristirahat,"
"Ciya, temani aku ke suatu tempat," ujar Dira sembari beranjak dari ranjang tanpa mempedulikan Haciya yang terus mengomelinya untuk beristirahat.
"Tuan putri, anda mau kemana lagi? Anda baru siuman,"
Dira menatap Haciya dengan tatapan maut. Ingin sekali rasanya Ia membungkus gadis itu ke dalam koper dan menyumpal mulutnya.
"Ciya, bukankah kita sudah sepakat kalau kau akan memanggilku Rora?. Sekali lagi kau memanggilku tuan putri, lidahmu akan ku potong," ancam Dira dengan tatapan mautnya.
Haciya bergirdik ngeri. Apakah panggilan tuan putri sebegitu buruknya hingga membuat Aurora ingin memotong lidahnya?
"Baik R-rora," jawab Ciya dengan gugup. Memanggil langsung namanya merupakan ujian paling berat bagi Ciya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wrath Of The Savior (End)
FantasyBagaimana jadinya kalau seorang gadis pemarah tiba-tiba bertransmigrasi ke tempat asing bak negeri dongeng? Itulah yang saat ini dirasakan oleh seorang Sania Nadira, gadis bermanik coklat, berpipi tembem dengan minus akhlak, otak lumayan cerdas, pem...