Seminggu telah berlalu. Suasana istana terlihat sama. Dira masih menuruti perintah Elgar untuk latihan berpedang. Ia mulai serius menuruti perintah Elgar dan tak lagi malas-malasan.
Peningkatannya signifikan. Hanya dalam seminggu Ia sudah menguasai seluruh teknik berpedang.
Jadi Ia memiliki lebih banyak waktu untuk menemukan putra mahkota yang cocok untuk kerajaan saxpire. Semakin cepat Ia menemukannya maka semakin cepat pula Ia bisa kembali ke dunianya. Mengenai Arghos, ternyata Ia tak bisa lagi menjadi putra mahkota.
"Kau bisa menguasai semua jurus secepat ini? Aku akui kau lebih serius setelah keluar dari kereta kuda Thierry. Apakah pria itu begitu memikat hatimu hingga kau bersungguh-sungguh berlatih. Agar kau bisa ikut ke medan perang bersamanya," sindir Elgar sedikit lebih santai. Ia menggigit buah apel yang ada di tangannya dan bersandar pada batang pohon di belakangnya.
Dira menghela nafasnya sembari mengusap tangannya yang kebas akibat terlalu lama memegang pedang.
"Sekarang saja aku sudah terjebak di medan perang," gumam Dira yang masih bisa didengar oleh Elgar.
"Heh, jadi benar kau menyukai pria kasar itu," Elgar menatap Dira remeh.
"Bukankah kau lebih kasar? Cih," Dira memutar bola matanya malas. Ia menatap telapak tangannya yang memerah dan kasar.
Elgar menyunggingkan senyumnya. Entah itu petanda baik atau sebaliknya.
"Dan si Teri itu, aku tidak menyukainya. Bukankah kau yang menyuruhku latihan berpedang. Jika aku tidak serius, kau menyiksaku dengan terus latihan tanpa henti. Sekarang saat aku serius latihan, kau malah menuduhku menyukai si ikan Teri itu. Kau selalu membuatku hilang kesabaran," gerutu Dira jengkel. Emosinya kembali meluap dan akan berteriak marah namun masih berusaha menahannya.
Ia bangkit dari duduknya. Ia mengambil pedangnya dan kembali mengayunkannya sesuai dengan apa yang telah di ajarkan Elgar. Sekarang Ia punya cara untuk menyalurkan emosinya. Ia menghabiskan seluruh tenaganya dengan berpedang. Hanya dengan begitu setiap amarahnya yang menggebu mulai terurai.
"Berhentilah," perintah Elgar dengan rahang yang mulai mengeras.
Dira tak mempedulikan. Ia terus mengayunkan pedangnya dengan nafas yang terengah. Ya, dia sudah kehabisan tenaga dan enggan berhenti.
"BERHENTI," bentak Elgar sambil mengepalkan tangannya marah.
Namun Dira masih fokus mengayunkan pedangnya.
Elgar berdiri dan membuang apel di tangannya sembarang. Ia menarik tangan Dira dan mengambil pedang di tangannya. Elgar membuang pedang itu sambil menatap tangan Dira yang mengeluarkan darah segar. Ya, gadis itu terluka akibat pedangnya namun tak meringis sedikitpun.
Dira menarik nafasnya dengan terengah. Ia kehabisan tenaga hanya untuk meluapkan emosinya. Matanya mengerjap beberapa kali.
"Apakah aku menggila lagi?," tanya Dira polos. Kebiasaan barunya seminggu terakhir. Melampiaskan seluruh amarahnya pada pedang.
Elgar menghela nafas pelan sembari memijat kepalanya yang terasa pusing. Menghadapi wanita seperti dia memang harus memiliki kesabaran setebal harapan orang tua. Sedangkan Elgar sendiri tak memiliki kesabaran sedikitpun.
"Dari awal bertemu, kau memang sudah gila. Sial, kau merusak pedang berhargaku" jawab Elgar sambil memungut pedangnya. Kemudian pergi dari sana dengan wajah yang ditekuk meninggalkan Dira sendirian.
"Sttt" Dira meringis saat melihat darah segar bercucuran dari telapak tangannya. Sangat perih. Ia menatap Elgar yang sudah menjauh.
"KAU HANYA MEMPEDULIKAN PEDANGMU. DASAR BRENGSEK. SETIDAKNYA KAU OBATI LUKAKU DULU BARU PERGI. WOY SETAN SAXPIRE. Cih, pita suaraku hampir rusak meneriakinya," teriak Dira yang diakhiri dengan menggerutu sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wrath Of The Savior (End)
FantasyBagaimana jadinya kalau seorang gadis pemarah tiba-tiba bertransmigrasi ke tempat asing bak negeri dongeng? Itulah yang saat ini dirasakan oleh seorang Sania Nadira, gadis bermanik coklat, berpipi tembem dengan minus akhlak, otak lumayan cerdas, pem...