26-Amarah

264 17 0
                                    

Kerajaan Gracia sangat sibuk mempersiapkan keberangkatan tuan putri mereka, Guinevara.

Gaun putih melekat pas di tubuh Guinevara. Wajah cantiknya dipolesi bedak dan perona bibir membuat wajahnya semakin menawan.

"Aku hanya ingin hidup dengan bebas. Tapi kenapa aku lahir dari keluarga kerajaan. Kedua orang tuaku malah menjadikanku barang pertukaran untuk kerajaan Saxpire. Menyebalkan sekali," gerutu Guin.

"Tuan putri, ayo segera menaiki tandu," ujar pelayan pribadinya sembari menuntun Guin untuk berjalan menggunakan gaunnya.

Guin menurut. Ia berjalan menuju tandu. Di luar gerbang istana, kedua orang tua Guin tampak berdiri menunggu kedatangan sang pengantin seraya mengantar kepergiannya.

"Guin, jaga dirimu baik-baik nak. Kerajaan Saxpire tidak akan menindasmu. Mereka akan menjadikanmu putri mahkota," Kaisar berusaha meyakinkan putrinya.

Guin hanya menunduk hormat. Kemudian langsung memasuki tandu tanpa bicara sepatah katapun.

Mereka mulai berangkat menuju kerajaan Saxpire.

_____________

"Lapor, yang mulia. Tandu pernikahan dari kerajaan Gracia telah sampai di depan gerbang," ujar pengawal menghadap pada Kaisar.

"Suruh pangeran ke lima menyambutnya mewakiliku," ujar Kaisar dengan raut yang sulit diartikan.

"Baik," pengawal itu undur diri.

Kaisar membuka lembaran kertas yang dari tadi Ia genggam. Kenapa bisa kebetulan sekali. Titah Kaisar kerajaan Amania, mengirim putrinya untuk aliansi pernikahan.

Ini ancaman besar bagi kerajaan Saxpire. Kerajaan Gracia masih berada di bawah kendalinya. Tapi kerajaan Amania, mereka jauh lebih unggul dari kerajaan Saxpire. Tidak mungkin menempatkannya sebagai tuan putri. Tentu saja statusnya adalah putri mahkota.

Lalu untuk kerajaan Gracia. Dia hanya akan menjadi tuan putri yang menikahi pangeran.

___________

Tandu pernikahan berwarna emas sudah disiapkan. Gaun pernikahan berwarna merah gelap dengan berbagai pernak perniknya juga sudah disiapkan.

Kamar Aurora terlihat sangat mewah dengan puluhan pelayan yang melayaninya sepenuh hati.

Dira merasa tidak nyaman dilayani oleh puluhan pelayan itu. Mereka hanya akan merias wajahnya, namun Dira tak terima. Ia justru melarikan diri sebelum tangannya memukuli para pelayan itu.

"Tuan putri, mereka hanya merias wajahmu," Haciya mencoba membujuk.

"KELUAR," teriak Dira yang saat ini mengurung diri di kamar mandi. Dia benar-benar marah. Tidak, dia benar-benar tak bisa mengontrol rasa marahnya saat ini.

Ia memukul dinding kamar mandi untuk meredakan rasa marahnya. Kenapa rasa marahnya kembali lagi? Sebelumnya bukankah sudah mereda.

"Tuan putri," pekik Haciya saat mendengar suara aneh dari kamar mandi. Ia mulai merasa khawatir.

"Kalian semua, panggil para pengawal untuk mendobrak pintu kamar mandi. Cepat," perintah Haciya pada pelayan yang berada di kamar.

"Baik"

"Tuan putri ada apa? Tuan putri ini aku Haciya," Haciya mengetok pintu kamar mandi dengan raut khawatir.

Rasanya Dira semakin marah. Tangannya sudah berdarah akibat meninju dinding dengan keras. Ia menggigit bibirnya untuk meluapkan rasa marahnya.

The Wrath Of The Savior (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang