Hidangan Pembuka

5K 286 11
                                    

Hio masih menyala di ruang duka. Wanita itu belum ingin memadamkan meski pelayat tak lagi berdatangan. Terhitung tujuh hari berlalu sejak kabar duka menjadi pusaran mendung di rumah mereka. Kediaman yang hanya dihuni oleh dirinya dan perempuan tua itu.

Tidak ada yang lebih menciptakan duka dari kehilangan atas kematian seseorang yang sepanjang hidup selalu membersamai tumbuh kembang seorang anak manusia. Entah bagaimana hari-hari ke depan tanpa perempuan itu. Menjadi dewasa tak lantas membuat ketiadaan dapat dijalani dengan mudah. Dia akan merindukan banyak hal dari perempuan yang telah merawatnya selama dua puluh lima tahun terakhir.

"Sabia, jangan lupa pelajari buku resep yang sudah Nenek tulis. Setidaknya meski kau tidak pandai memasak, kau bisa mengolah bahan dengan racikan sederhana. Pengeluaranmu akan lebih hemat."

Suara perempuan tua itu seolah kembali menari-nari di kepala. Apa jawabannya kala itu?

"Aku punya Nenek. Untuk apa repot-repot belajar memasak?" Disertai cengiran lebar membuat perempuan tua yang pandai memasak di rumah mereka hanya menjawil cuping hidungnya dengan gemas.

Sayangnya, kebersamaan mereka harus berakhir tepat setelah wanita itu berusia 25 tahun. Sehari berselang dari perayaan sederhana untuk mensyukuri kehidupan satu-satunya cucu yang dia miliki, yang bertambah satu tingkat lagi kedewasaannya.

Malam-malam usai kepergian sang nenek, Sabia lebih banyak menghabiskan waktu di ruang duka. Dari pagi bertemu pagi, yang dilakukan wanita itu hanya menunggui hio. Jika habis atau mati, dia kembali menyalakannya. Wajah Nenek yang terabadi dalam foto hitam putih menjadi satu-satunya yang dia pandangi. Tak bosan sama sekali.

Beranjak sebentar hanya ke dapur untuk membuat mi seduh atau menghangatkan lauk-lauk buatan Nenek yang tersimpan dalam wadah kedap udara. Bertumpuk di dalam lemari pendingin. Seolah beliau telah memperkirakan kapan akan pergi sehingga, setidaknya, menyiapkan beberapa lauk jadi untuk Sabia konsumsi selama beberapa hari selama cucu wanitanya masih malas memasak sendiri.

Menjalani kesedihan bukan berarti kau tidak lapar. Sabia tetap perlu energi untuk menjalani rutinitas kepedihan atas kematian sang nenek. Saatnya sarapan dia tetap sarapan. Begitu pula ketika jam makan malam datang. Dengan enggan, wanita itu menggeret langkah ke dapur. Mi seduh masih berderet di lemari penyimpanan. Beragam varian. Bebas pilih rasa yang mau dimakan.

Sesuatu jatuh menimpa kepala wanita itu saat menarik satu cup mi seduh. Sebuah buku tulis yang cukup lusuh. Tampak mengembang karena di dalamnya penuh dengan tulisan. Rasa penasaran menggiring tangan Sabia membukanya. Yang tertulis adalah resep-resep masakan rumahan milik sang nenek.

Tangis kembali merebak di kedua mata Sabia. Betapa peduli perempuan itu atas keberlangsungan perut cucu satu-satunya. Rela menuliskan beragam resep agar Sabia memiliki bermacam variasi masakan setiap hari. Dari yang mudah sampai sulit. Dari kuah sampai tumis. Dari gurih sampai manis. Lengkap.

Masih sambil berurai air mata, Sabia melanjutkan rencana: menyeduh mi kemasan. Tidak lupa mengeluarkan satu kotak lauk tambahan dari dalam lemari pendingin: acar timun dan nanas favoritnya. Sabia membawa mi kemasan dan lauk tambahan kembali ke kamar duka. Dia akan menunggu makanannya siap sembari menikmati senyum Nenek.

Jam di ruang keluarga berdentang sebanyak dua belas kali. Di halaman belakang rumah mereka, tiga ekor burung hantu bersimfoni. Siap merayakan sesuatu yang akan terjadi.

Sesuatu muncul di permukaan lantai ruang duka. Sabia sampai terlonjak sehingga mundur beberapa langkah. Pusaran cahaya berwarna putih kebiruan memenuhi lantai.

"A-apa yang terjadi?"

Belum hilang rasa terkejut Sabia, sesuatu tak kasat mata seperti menarik kedua kaki wanita itu. Menyeretnya masuk ke pusaran cahaya.

Sabia meronta. Berusaha melepaskan diri, tetapi sial! Cengkeraman sesuatu itu sangat kuat. Sabia terus terseret. Tubuhnya bahkan telah rebah dalam posisi tertelungkup. Kedua tangannya mencoba menggapai apa saja yang bisa menahan wanita itu tidak tersedot. Namun, tak ada apa pun. Hanya buku resep Nenek yang bisa diambil Sabia sebelum tubuhnya lenyap ke dalam pusaran cahaya.

Permukaan lantai lengang. Hio persembahan untuk Nenek pun padam. Tiga ekor burung hantu di halaman belakang berhenti berdendang. Rumah itu sunyi ditinggalkan pemiliknya. Sabia menghilang.

***

Kitchen Doctor Season 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang