Berkas sinar matahari yang menelusup dari celah jendela berhasil mengerjapkan sepasang mata gadis pemilik rambut red coral di atas ranjang. Terlebih posisi tidur yang menyamping tepat menghadap jendela. Sambil mengerang, gadis itu berusaha membuka mata. Segera mengenali bahwa kamar yang ditinggali bukanlah kamar sewaan apalagi kamar pribadi.
Ya, bukan kamar pribadinya di Istana Putri. Sudah lama kamar itu dia tinggal pergi. Tepat satu minggu setelah kepergian orang yang paling dia hormati, dia melarikan diri. Sejauh mungkin pergi agar tidak ada siapa pun yang mencari.
Mencari? Apakah seseorang berhasil menangkapku sehingga tubuhku berakhir di kamar ini? Siapa? Hm ... sepertinya si cokelat menyebalkan itu.
Gadis itu ingin bangun, tetapi tangan dan kakinya susah digerakkan. Begitu sadar, dia tersentak. Emosi segera meluap sampai ke ubun-ubun. Kedua kaki dan tangannya terikat. Susah sekali melepaskan simpul khas yang dia tahu hanya bisa dilakukan oleh seseorang. Pria yang sangat pemaksa. Si Cokelat Menyebalkan.
Telinganya bergerak-gerak saat suara langkah mendekat. Sosok itu berjongkok di samping ranjang yang dia tiduri. Menyeringai puas karena berhasil menemukan dan menangkapnya. Terpaksa mengikat kedua tangan dan kaki gadis itu agar tidak memberontak saat sadar.
"Kau sudah bangun, ya?"
"Ck! Lepaskan talinya!"
"Tidak akan. Kau akan tetap seperti itu sampai kita sampai di Vlemington."
"Kau gila, Owen Viridis? Bagaimana aku makan dan berganti pakaian kalau tangan dan kakiku terikat, hah?"
"Aku bisa menyuapimu. Urusan berganti pakaian ... sepertinya, aku juga bisa menggantikan." Pria berambut cokelat gelap itu mengerling jail.
Hanya bergurau. Mana berani dia melakukan tindakan tak senonoh kepada seorang gadis, terlebih gadis yang terikat tangan dan kakinya itu. Sekalipun mereka dekat, dia masih tahu bagaimana menjaga kelakuan. Meski, ya, tidak dipungkiri. Sebagai pria dewasa, terkadang, pikiran-pikiran nakal itu melintas. Sampai usianya hampir tiga puluh tahun, dia masih mampu menahan diri. Itu pun karena gadis incarannya sulit sekali ditaklukan.
"Lepasakan aku, Owen!" Gadis itu kembali meronta.
"Asal kau mau berjanji, Caramel."
"Pulang ke Vlemington?"
Owen mengangguk.
Gadis itu terdiam. Wajahnya mendadak murung. Susah payah dia berbalik agar memunggungi pria itu. Sudut-sudut matanya kembali basah. Vlemington menjadi pemicu kesedihannya selama beberapa minggu terakhir.
Belum ada keberanian baginya kembali menginjak apalagi berjalan di lorong-lorong istana. Dia masih mendengar dengan sangat jelas percakapan-percakapan tengah malam sembari minum arak di dapur kotor. Mereka. Tiga orang manusia yang seolah-olah tak memiliki beban hidup. Menenggak berseloki-seloki arak kualitas terbaik dengan kudapan-kudapan yang memanjakan lidah.
Owen menghela napas begitu melihat bahu gadis itu berguncang. Kesedihannya masih belum pergi. Entah akan bisa menghilang atau selamanya akan mengungkung. Siapa pun di Istana Vlemington tahu seberapa penting Shin Weltrez bagi Caramel.
"Aku tahu, melepas kematian seseorang bukanlah pekerjaan yang mudah, Caramel." Owen beranjak lantas duduk di pinggir ranjang; ruang kosong di sebelah Caramel.
"Kalau sudah tahu, kenapa kau memaksa?" Di sela-sela isak, Caramel berusaha memprotes.
"Karena Vlemington membutuhkanmu."
"Jangan bergurau! Kau sengaja mengejekku, ya?"
Alih-alih tersinggung oleh bentakan Caramel, Owen malah tertawa. Jika ada satu saja gadis yang tidak menghormatinya, suka membentak bahkan memukulnya, hanya Caramel yang mampu melakukan itu kepada Pangeran Pertama Vlemington.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kitchen Doctor Season 1
FantasySebuah portal sihir muncul di kamar Sabia Nuala setelah tujuh hari kematian sang nenek. Sesuatu menarik paksa Sabia, berputar-putar dalam lorong waktu aneh, berakhir tersungkur di aula rapat Kerajaan Vlemington. Kedatangan yang disambut sorak-sorai...