Semakin lama semakin jelas bahwa yang didengar Sabia adalah suara air dari pancuran. Belum lagi, udara di sekitarnya beraroma seperti wilayah pegunungan yang dipenuhi pohon pinus. Ya, aroma pinus. Aroma yang sering sekali dipakai oleh produk-produk pembersih lantai maupun kamar mandi.
Dia mengerang sembari bangkit. Kepala terasa sakit. Perut seperti bergolak, siap memuntahkan seluruh isi. Sembari mengumpulkan kesadaran, Sabia mengingat-ingat kembali apa yang telah terjadi.
Yang dia tahu, dia bertemu seorang pria. Berambut perak dengan tindik menghiasi di kedua telinga. Senyumnya mengingatkan Sabia akan tokoh dalam komik atau anime yang berkarakter culas. Namun, setelah mengobrol lebih jauh dengannya, Sabia menyadari bahwa pria itu cukup baik. Bahkan pria yang memperkenalkan diri sebagai Leif Morathi, kepala kepengurusan taman istana, senang hati menjelaskan beragam bunga yang dirawat taman istana.
"Bunga?" Sabia mendesis. Kepalanya berdentam nyeri.
Sabia ingat bahwa Leif memperkenalkan Bunga Tiga Aroma. Membawa Sabia kepada penemuan paling membahagiakan. Salah satu rasa dari Bunga Tiga Aroma serupa rasa garam di dunianya yang belum ditemukan di kerajaan tersebut. Masalah yang selama beberapa jam kemarin berserabut di kepala.
"Sekarang jam berapa, sih?" Sabia menguap. Ranjang tempat dia tidur berhadapan tepat dengan jendela besar.
Jendela bertirai itu telah terbuka. Menampilkan balkon yang cukup luas dengan set meja dua kursi. Langit masih cukup gelap.
"Tunggu." Kesadaran Sabia telah sepenuhnya terkumpul.
Dia menyapukan pandangan ke seluruh ruangan yang didominasi warnah merah bata lembut dan keemasan. Warna ruangan yang betul-betul asing. Seingatnya, kamar miliknya tidak didominasi warna bata lembut dan keemasan. Kamar yang ditunjukkan Limora semalam didominasi warna putih. Dia sangat yakin dengan ketajaman ingatannya.
"Kalau ini bukan kamarku, aku di mana?"
Sabia mulai panik. Menoleh ke sana kemari, tetapi ruangan itu hanya berisi dirinya. Mungkin tidak. Ada orang lain yang sialnya sedang di ... kamar mandi? Suara pancuran air semakin jelas. Menarik perhatian Sabia untuk beranjak lantas mencari sumbernya.
Begitu telapak kaki menyentuh karpet yang melapisi seluruh lantai, dia seperti melayang ke langit ketujuh.
"O, betapa lembut karpet ini." Dia berjingkat-jingkat senang. Persis anak kecil yang diberi satu plastik penuh gula-gula kesukaan.
Setelah puas merasai kelembutan karpet di kamar itu, Sabia kembali melanjutkan langkah. Melewati lorong yang cukup lebar, tetapi tidak terlalu panjang. Mengantarkan wanita berambut cokelat madu itu ke sebuah ruangan lain. Ruangan dengan beragam lemari.
Tidak seluas kamar tadi, tetapi cukup luas jika hanya digunakan untuk menyimpan beberapa lemari. Beberapa zirah sengaja diletakkan di luar. Puluhan pedang, dari kecil sampai besar, terpajang dalam lemari yang menempel di dinding. Lemari dari kaca sehingga siapa pun yang memasuki ruangan itu bisa langsung melihat 'koleksi' pedang entah milik siapa.
"Pedang? Artinya, pemilik kamar ini adalah seseorang yang pandai bertarung?" Bahu wanita itu berjengit. Tidak begitu peduli. Telinganya justru bergerak-gerak saat menangkap suara pancuran air.
Langkahnya mendekati sebuah pintu besar berukir sulur-sulur daun. Dia menempelkan telinga ke daun pintu. Mencermati lebih baik apakah pendengarannya tepat atau keliru. Suara pancuran air itu memang terdengar dari sana.
Ada yang sedang mandi? Sepagi itu? Astaga! Dia bahkan lebih rajin dari Nenek.
Masih sambil menempelkan telinga ke daun pintu, Sabia kembali mengingat kejadian apa yang membawanya sampai bermalam di kamar yang bukan miliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kitchen Doctor Season 1
FantasíaSebuah portal sihir muncul di kamar Sabia Nuala setelah tujuh hari kematian sang nenek. Sesuatu menarik paksa Sabia, berputar-putar dalam lorong waktu aneh, berakhir tersungkur di aula rapat Kerajaan Vlemington. Kedatangan yang disambut sorak-sorai...