Hidangan Utama 15

1.5K 163 0
                                    

"Kau tidak kembali ke Istana Putri?"

Gadis berambut red coral langsung menoleh ke pintu saat mendengar suara yang belakangan sangat menyebalkan. Untuk apa pula dia di sana? Bukankah sudah sangat larut? Lagi pula, dia tak seperti adik bungsunya yang suka minum arak tengah malam. Jadi, kenapa dia menyambangi dapur pada saat seharusnya mendengkur di kamar yang nyaman?

"Aku sedang malas bertengkar denganmu, Tuan. Pergilah ke kamarmu lalu tidur!" Satu seloki berisi arak kembali menggelontor ke kerongkongan. Sensasi pahit sekaligus manis meledak bersamaan.

"Barangkali kau butuh teman minum. Aku bersedia menemani."

"Cih!" Kali kedua, bibir seloki menempel di bibir imutnya. Sengaja menyesap perlahan. Ingin menikmati pelan-pelan perpaduan rasa yang menurutnya tidak biasa. "Yang ada, ke sinimu justru membuatku ingin mencincangmu dengan pisau daging."

Alih-alih tersinggung, pria itu tertawa. Tidak peduli akan penolakan gadis berambut red coral, dia tetap duduk di seberang meja; Mengambil satu seloki lagi untuk diri sendiri; Menuang sebagian isi botol ke seloki miliknya.

"Bagaimana? Kau suka dengan wanita pahlawan itu, 'kan? Kudengar dari Vilneria, kalian lumayan dekat."

"Aku menyukainya. Dia wanita yang pandai mengajari orang, selain juga cantik. Dia sangat menyenangkan. Sedikit pemaksa." Caramel mendengkus. Ingatannya kembali pada makan siang tadi.

Berkat kesibukan Sabia di perpustakaan, dirinya harus mengemban tugas yang sangat berat. Bagi Caramel, mengomandoi belasan pelayan untuk menyelesaikan menu yang dibuat Sabia adalah hal terberat yang pernah dia lakukan. Bahkan jauh lebih berat dari saat menjadi asisten Shin Weltrez.

Sabia sungguh keterlaluan. Begitulah sejak tadi dia mendengkus.

"Kudengar, kau yang membuat sup tomat telur siang tadi, ya?"

"Hmmm."

"Kau melakukannya dengan baik, Carry." Pria itu mengacak-acak rambut Caramel. "Aku suka supnya. Enak."

Caramel mengerjap-ngerjap saat menatapnya. "Kau mengatakannya hanya untuk menyenangkan aku, ya?"

Pria berambut cokelat gelap itu menggeleng. "Aku betulan memujinya. Sup tomat telur itu enak. Hm, bagaimana mengatakannya, ya? Makanan-makanan yang kumakan akhir-akhir ini seperti lebih ... hidup. Kudengar, Wanita Pahlawan menambahkan bubuk Bunga Tiga Aroma ke dalam setiap masakan, ya?"

"Sabia. Namanya Sabia. Kalau kau terus memanggilnya seperti itu, terlebih di depan wajahnya, kupastikan dia akan mencakarmu." Caramel kembali menenggak isi seloki yang telah diisi ulang.

"Ya, Sabia. Bagaimana bisa dia berpikir untuk menggunakan Bunga Tiga Aroma?"

Caramel mengangkat bahu. "Hanya Sabia yang mengerti, Owen. Kupikir, dia memiliki ketajaman lewat hidung dan lidahnya untuk menemukan bahan-bahan di sekeliling kita yang tidak pernah kita pakai. Dia memang hebat."

Owen mengusap-usap dagu. "Selain hebat, dia juga cantik."

Satu alis Caramel berjengit. "Kau suka kepadanya?"

"Kalau aku menyukainya, apakah kau akan marah?" Senyum miring yang sangat menyebalkan diperlihatkan Owen. Sengaja untuk menggoda gadis di seberang meja.

"Kau menyukai siapa, bukan urusanku."

"Hm ... begitu, ya?"

Siapa pun bisa jatuh cinta kepada Sabia. Dia cantik dan menggemaskan.

Tanpa sadar, Caramel meremat gaun tidur yang melindungi kedua pahanya.

***

"Kapan musim penghujan akan datang di kerajaan ini, Limora?"

Kitchen Doctor Season 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang