"Lagi?" Caramel membelalak setelah mendengar perintah Sabia. "Kau ingin aku kembali memegang kendali untuk masak makan siang?"
Sabia mengangguk sembari membenahi jubah. Menjelang musim penghujan, suhu di Kerajaan Vlemington lebih dingin dari pertama kali Sabia datang. Ah, bahkan sangat dingin untuk ukuran seseorang yang hanya hidup di dua musim seperti dirinya.
"Kau mau ke mana lagi? Kembali ke perpustakaan?" Caramel masih tak percaya bahwa wanita itu kembali memberinya beban.
"Tidak. Aku ingin berkeliling Vlemington. Kau harus mulai terbiasa memegang kendali di dapur, Caramel. Dalam waktu dekat, aku akan melakukan perjalanan mencari bahan-bahan masakan. Kalau aku tidak mengandalkanmu, kepada siapa lagi tanggung jawab dapur kuserahkan?" Sabia mengerling.
"O, astaga!" Sambil berkacak pinggang, Caramel mondar-mandir di dapur kotor. "Kau keterlaluan, Sabia."
Alih-alih tersinggung, Sabia justru tertawa. "Sudahlah, lakukan saja tugas yang kuberikan. Toh, semua orang memuji hasilnya. Kau hanya harus percaya kepada kemampuanmu. Kau urus dapur di dalam istana, sedangkan aku mengurus yang di luar. Itu baru namanya kerja sama yang menguntungkan. Kalau aku hanya mengurus yang di dalam, bagaimana dengan penduduk Vlemington? Sudah saatnya mereka memperbaiki kualitas masakan agar lebih baik."
Sia-sia saja Caramel merengek agar Sabia membatalkan perintah. Agaknya, yang menyebalkan dan tukang paksa bukan saja Keluarga Viridis, tetapi wanita berambut cokelat madu itu pun memiliki perangai serupa.
Masih belum terlalu siang saat Sabia dan Limora meninggalkan istana. Masing-masing membawa keranjang dengan tumpukan botol berisi bubuk Bunga Tiga Aroma yang akan mereka bagikan kepada pemilik kedai-kedai makanan.
"Kenapa kita tidak pakai kereta kuda istana, Nona?"
"Aku ingin menikmati suasana dengan berjalan. Melangkah setapa demi setapak, melewati blok demi blok, kemudian melintasi lorong demi lorong adalah hal menyenangkan, Limora."
Sesekali, mereka berpapasan dengan anak-anak yang berlarian di pinggir jalan. Wajah-wajah yang mulai kusam terpanggang sinar matahari menjelang siang. Beberapa di antaranya tersenyum cerah, sedangkan yang lain tampak murung.
Saat melintasi segerombolan anak dengan pakaian lusuh dan wajah coreng-moreng, Sabia menginstruksi Limora agar mendekati mereka. Dari tampilan pun bisa dipastikan bahwa mereka bukan dari kalangan bangsawan. Jangankan bangsawan, kalangan pedagang pun tidak mungkin.
"Kalian tidak bermain dengan mereka?" Sabia berjongkok di depan tiga bocah laki-laki berambut cokelat muda yang mungkin berusia tujuh tahunan.
Mereka menggeleng. Menunduk. Tak berani menatap Sabia dan Limora.
"Mereka bukan teman kalian?"
Ketiga bocah itu kembali menggeleng.
"Mereka anak bangsawan. Tentu kami tak bisa bermain dengan mereka. Mereka juga tidak mau bermain dengan kami. Kami hanya anak yatim piatu."
"Kalian tinggal di mana?" Melihat kelembutan Sabia saat menanyai mereka membuat Limora ikut tersentuh.
"Panti asuhan." Salah seorang di antara mereka menjawab. Bocah laki-laki dengan iris mata berwarna hazel.
"Kenapa kalian ada di sini kalau tidak bermain dengan mereka?"
"Kami ... lapar. Sudah tidak ada makanan di rumah. Nyonya Madeline sedang sakit. Dia tak bisa memasak."
Sabia mendesah. Sungguh malang nasib mereka.
"Kenapa kalian tidak ke istana?"
Ketiga bocah itu menggeleng. "Tuan Shin sudah pergi. Tidak ada yang menerima jika bukan Tuan Shin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kitchen Doctor Season 1
FantasySebuah portal sihir muncul di kamar Sabia Nuala setelah tujuh hari kematian sang nenek. Sesuatu menarik paksa Sabia, berputar-putar dalam lorong waktu aneh, berakhir tersungkur di aula rapat Kerajaan Vlemington. Kedatangan yang disambut sorak-sorai...