Sepanjang lorong yang entah akan berujung ke mana, Sabia terus meronta. Mengerahkan segenap tenaga agar bisa terlepas dari perlakuan tak senonoh pria yang memanggulnya. Tidak segan memukulkan kedua tangan ke punggung pria itu yang rasanya sangat keras. Sementara di belakang mereka, satu pria lain yang mungkin seusia pria yang membopongnya berjalan tergopoh-gopoh mengikuti.
"Hei, Tuan! Bisakah kau menyuruh orang ini untuk menurunkanku? Aku sudah berusaha melepaskan diri, meminta baik-baik, tetapi tampaknya dia adalah pria bodoh yang tidak paham bahasa manusia."
"Hm ... Pangeran Egan? Bisakah kau turunkan saja Nona itu? Aku yakin, dia tidak akan melarikan diri dari istana."
"Diam sajalah, Razarez. Kau tidak usah ikut campur. Aku perlu memastikan dengan mataku bahwa wanita ini akan menuruti semua perintahku."
Sabia mendecih. "Kau siapa memangnya? Berani sekali memerintahku. Kau pikir, setelah apa yang kau lakukan kepadaku, aku akan mengampuni dan menurutimu begitu saja?"
"Diamlah!" Pria yang dipanggil Pangeran Egan memberikan tepukan sedikit keras di bokong Sabia.
"Hei!" Tentu saja wanita itu semakin muntab. Kurang ajar sekali pria itu? Bagaimana bisa dengan tidak berperikemanusiaannya menepuk bokong seorang wanita? "Kau sadar dengan yang kau lakukan, Bung? Kau sudah melecehkan harga diri seorang wanita!"
"Berisik! Diam atau kubanting kau, heh!"
"Lepaskan!" Sabia masih memberontak.
Alih-alih terganggu, langkah pemuda itu semakin lebar menuju salah satu bagian dari istana yang kerap sibuk hampir sepanjang waktu. Namun, sejak kepergian kepala koki, tempat itu seolah ikut mati. Senyap. Tidak lagi mengepulkan aroma wangi dari beragam masakan. Tidak lagi terdengar pisau beradu talenan. Semua bunyi dan aroma tertilap kehilangan.
Razarez hanya bisa geleng-geleng sembari terus mengekori tuannya. Beberapa pelayan yang berpapasan dengan mereka ikut menatap bingung meski dengan wajah tertunduk. Setelah mereka berlalu beberapa langkah, barulah kasak-kusuk berdengung memenuhi lorong. Topik hangat yang sudah berembus sejak beberapa saat lalu: pahlawan yang akan menyelamatkan mereka dari ketidakberdayaan mengganyang makanan tak lezat.
Sabia terus meronta, tetapi sia-sia. Dekapan pemuda itu sangat kuat. Benar-benar kuat sampai tulang-tulangnya terasa ngilu. Sementara itu, lewat celah-celah jendela berukiran rumit nan indah, cahaya petang menelusup. Jatuh menimpa permukaan lantai. Mencipta keemasan yang indah. Samar terdengar pula ringkik belasan atau mungkin puluhan kuda. Sabia baru sadar kalau mereka memang melewati area istal di mana kuda-kuda prajurit maupun pangeran biasa ditambatkan untuk beristirahat dan makan.
Pria macam apa yang tidak punya kelembutan dalam memperlakukan wanita? Aku berani bertaruh. Dia dibenci kaum hawa di kerajaan ini karena sikap bengisnya.
Mereka sampai di sana. Di depan pintu ganda yang menjulang amat tinggi. Daun pintunya dari batu khusus. Diukir begitu indah dengan bentuk-bentuk rumit. Menggunakan sebelah kaki, pemuda yang membopong Sabia menendang salah satu daunnya. Berdebam terbuka. Memekakkan siapa pun yang berada dalam radius tidak kurang dari lima puluh meter. Bahkan Sabia sampai harus menutup telinga demi melindungi gendang di dalamnya.
Mereka masuk, mengenyakkan beberapa pelayan dengan wajah lesu. Buru-buru berbaris di salah satu sisi ruangan. Menunggu entah perintah apa lagi yang harus mereka kerjakan dalam keterbatasan.
Sedikit membanting, pemuda yang kerap dipanggil dengan Pangeran Egan itu menurunkan Sabia. Berhasil lepas dari cengkeraman pemuda kurang ajar membuat Sabia bebas menggerakkan tangan dan kaki. Hujan sumpah serapah, pukulan, juga cubitan mendera tubuh kekar pemuda itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kitchen Doctor Season 1
FantastikSebuah portal sihir muncul di kamar Sabia Nuala setelah tujuh hari kematian sang nenek. Sesuatu menarik paksa Sabia, berputar-putar dalam lorong waktu aneh, berakhir tersungkur di aula rapat Kerajaan Vlemington. Kedatangan yang disambut sorak-sorai...