Hidangan Utama 4

2.2K 207 9
                                    

Sabia tak bisa tidur. Berganti-ganti posisi di ranjang pun tak membuahkan hasil. Dia masih kepikiran dengan bagaimana isi dapur istana. Astaga! Apa yang akan dia buat besok jika bumbu-bumbu dasar saja tak ada? Dia harus menemukan petani garam dan membeli sebanyak-banyaknya bahan paling utama yang satu itu.

Demi mengundang kantuk, Sabia membuka kembali buku catatan resep milik Nenek. Semakin jauh membaca, wanita itu semakin takjub. Bukan saja resep hidangan yang tertulis, tetapi beragam minuman bahkan sampai pembuatan mentega. Sungguh menakjubkan sekali perempuan tua itu. Seolah-olah catatan yang beliau tinggalkan memang akan dibutuhkan sang cucu, bukan saja di dunianya, tetapi negeri antah berantah yang kemungkinan besar tidak tercatat secara geografis di dalam globe.

Dari sekian banyak resep, Sabia menemukan satu yang menurutnya mudah ditiru. Lebih membahagiakan lagi, tidak ada garam dalam resep tersebut. Hidangan yang akan dia coba eksekusi besok pagi. Meski tidak yakin akan disukai atau malah dilepehkan. Dia saja tak pernah membuat makanan itu sebelumnya. Kalau telur dadar kentang sore tadi berhasil, itu tidak lebih karena keberuntungan--atau kemampuan pencecap mereka yang mencicipi memang tidak waras.

Dia mendengkus. Bangkit dari ranjang. Menggeret langkah memasuki balkon. Udara malam Vlemington menyapa. Sedikit dingin saat menyapu wajah. Embus angin malam menggoyangkan helai demi helai rambut Sabia. Rambut panjang bergelombangnya berkibar indah.

Sambil bersandar di pagar pembatas, Sabia mendongak. Bulan separuh menggantung di atas kepala. Cahayanya timbul tenggelam tersapu awan tipis. Lolongan serigala terdengar di kejauhan. Di arah utara, berderet barisan pinus dan cemara. Berjejalan menyesaki sebuah hutan yang konon tak berani dimasuki manusia normal. Hanya orang-orang tertentu, terutama yang pandai bermain senjata, yang sanggup menjelajah.

Dicubitnya berkali-kali lengan dan pipi. Memekik pelan karena rasa sakit yang menyengat. Beberapa kali mengentakan kaki ke lantai balkon. Dia menapak. Tubuhnya utuh. Tidak transparan apalagi hologram. Yang artinya, wanita itu betulan hidup di sana. Di tanah yang entah termasuk ke planet mana.

"Hidup terlalu cepat berubah." Sabia menopang wajah dengan kedua tangan yang bersandar di permukaan pagar batu. Menatap tak berminat ke deretan pinus dan cemara.

Dia tak beranjak untuk waktu yang lama. Memikirkan kembali siklus kisah aneh yang dilaluinya.

"Argh!" Dia menggeram. Sebal dengan kondisi yang sama sekali tidak dimengerti. "Kenapa aku? Kenapa hidupku yang dibenturkan dengan kegilaan ini? Astaga! Akan sampai kapan aku terjebak di dunia yang ... bagaimana menyebutnya? Imajinasi dan realita saling bertubrukan. Sihir seperti bukan keanehan di sini. O, astaga! Sihir? Kupikir, hal semacam itu hanya ada dalam novel fiksi. Atau jangan-jangan, aku masuk ke dunia novel? Novelnya siapa? Aku bahkan tidak punya novel fantasi di rumah."

Kedua telinganya berjengit karena mendengar suara langkah. Kepalanya melongok ke bawah, berusaha menemukan sumber suara tersebut di antara remang batu sihir. Seseorang muncul bersamaan lirih senandung. Sabia perlu memicing agar fokus tatapannya sempurna.

Yang muncul di taman dekat kamar tidurnya adalah seorang pria. Berambut perak; terpangkas pendek. Posisinya membelakangi Sabia sehingga wajah pria itu belum terlihat. Kedua tangannya bergerak-gerak di udara. Tak berapa lama, dari ruang hampa, ribuan bulir mengguyur blok-blok dalam taman. Air. Pria itu menciptakan air dari ruang hampa untuk menyiram ... bunga? Menyiram bunga malam-malam? Hal aneh macam apa lagi yang dia lihat?

Rasa penasaran membawa langkah Sabia bergegas keluar kamar. Berlarian sepanjang lorong remang. Tidak peduli tatapan aneh beberapa penjaga yang mendapati wanita bergaun tidur justru berkeliaran. Dia ingin menyaksikan sendiri keanehan-keanehan yang tak akan pernah dia temukan di dunia sebelumnya.

Kitchen Doctor Season 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang