Hidangan Penutup

2.2K 195 60
                                    

"Naik." Egan menepuk pelan punggung kuda sewaan.

"Tidak mau. Aku mau pulang." Cekalan telah dilepas. Kesempatan bagi Sabia kabur dari hadapan makhluk yang berhasil membuat sesuatu di balik dadanya berdentum aneh.

Sayangnya, Egan tak mau melepas begitu saja wanita itu setelah apa yang dia katakan. Enak saja. Dia sudah mengaku. Dia ingin balasan Sabia malam itu juga.

"Kau harus ikut atau aku betulan menciummu di sini. Kau memang mau kucium di depan banyak orang, ya?" Egan menghadang langkah Sabia.

Mau tak mau, wanita itu berhenti. Menatap bengis kepada si pemilik rambut ikal gondrong yang berkali-kali lipat menyebalkannya pada malam itu.

"Kau. Sangat. Menyebalkan!" Dengan telunjuk mungilnya, Sabia menusuki dada Egan. Liat sekali. Seolah-olah isinya hanya otot dan otot. Jangankan lemak, daging pun rasanya tak ada.

"Makanya, turuti perintahku untuk malam ini. Kau hanya kuminta untuk ikut."

"Tidak ada jaminan bahwa kau akan membawaku ke tempat aman. Melihat gelagatmu barusan, bisa saja kau membawaku ke tempat di mana orang tidak akan mudah menemukan mayatku."

Egan menahan tawa. "Aku lebih suka 'memakanmu' daripada membunuhmu."

Tanda kutip yang dibuat oleh gerakan tangan Egan justru membuat Sabia makin sebal kepadanya.

"Ayolah, Bi! Aku janji. Aku tidak akan membawamu ke tempat yang tidak kau suka. Kau aman. Aku tidak akan macam-macam. Aku ... aku hanya ingin menghabiskan malam festival ini di tempat berbeda bersamamu. Hanya denganmu. Berdua saja."

"B-Bi?" Sabia mengerjap-ngerjap bingung. Dipanggil hanya suku kata namanya justru menggilakan dentuman di balik dada. Mantan pacarnya saja tidak pernah memanggil Sabia dengan frasa sependek itu. Frasa pendek yang justru terdengar lebih intim.

"Kenapa? Kau tidak suka kupanggil 'Bi' saja?"

"T-tidak." Wanita itu buru-buru berbalik. Sial! Kenapa dengan dadaku? Kenapa malah berdentum aneh begini? Apa karena aku kebanyakan makan, ya, tadi?

"Serius kau tidak suka kupanggil 'Bi'?" Egan memburu. Melangkah ke hadapan wanita itu. Mencari tatapan Sabia yang melengos ke arah lain.

"B-bukan begitu maksudku." Gelisah membuatnya meremat-remat tidak jelas pinggiran gaun. "K-kau orang pertama yang memanggilku dengan hanya satu suku kata. Rasanya ... agak aneh."

Egan paham. Dia bisa menangkap lewat ekspresi wanita di hadapannya. Terdengar menyangkal, tetapi Egan tahu bahwa wanita itu menerima panggilan khusus darinya. Terkesan, begitulah yang ditangkap Egan lewat mimik yang terlukis.

Menunggu Sabia menuruti permintaannya hanya akan membuang waktu. Tanpa permisi, masih membiarkan Sabia dengan euforianya, Egan membopong wanita itu.

"Egan! Apa yang kau lakukan?" Sabia tersadar. Kembali meronta.

"Semakin lama kita di sini, semakin lama pula kita sampai ke tempat itu. Jadi, Nona, menurutlah sebentar. Aku janji tidak akan melukaimu. Tidak akan pernah." Egan bersungguh-sungguh. Kalimatnya terdengar meyakinkan. Tubuh tinggi besarnya memberi keuntungan. Memudahkan Egan mendudukkan Sabia ke punggung kuda--dengan sedikit memaksa.

Secepat kilat, tidak memberi sempat kepada Sabia untuk terburu-buru turun lalu kabur, Egan menyusul. Sekali lompat lantas duduk di belakang wanita itu. Segera mengambil alih kekang sehingga kedua tangannya mengapit tubuh mungil Sabia. Mengingatkan kembali bahwa mereka pernah berada dalam situasi dan posisi yang sama. Beberapa waktu lalu. Sepulang Sabia belajar berkuda.

"Kau siap?"

"Tidak sama sekali. Keberadaanku di atas sini karena paksaanmu, 'kan?"

Egan tertawa. Tidak tersinggung dengan gerutuan wanita di depannya. "Mari berangkat! Hiya!"

Kitchen Doctor Season 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang