Hidangan Utama 35

1.2K 139 2
                                    

Tanpa banyak bicara, Sabia menyusuri tepian hutan di dekat rumah panti asuhan Nyonya Madeline. Langit semakin gelap justru ketika Sabia melangkah semakin dalam. Berkali-kali menyibak semak hingga mencipta gerutuan karena pohon yang dicarinya tak kunjung terlihat.

Di belakang wanita itu, dua orang lain mengikuti dalam diam. Karena tidak tahu apa yang dicari Sabia, mereka memutuskan hanya mengawal. Mau membantu pun tak tahu apa yang harus dicari.

"Udaranya semakin dingin."

"Sudah kubilang, 'kan? Kau tidak perlu ikut, Tansy. Malam di Vlemington pada musim penghujan selalu lebih dingin. Kenapa juga kau tidak memakai mantelmu?"

"Aku mana tahu kalau kau merencanakan perjalanan kemari, Egan. Tentu saja aku tidak menyiapkan apa-apa."

Egan mendengkus samar. Salah sendiri memaksa ikut.

Meski agak sebal, Egan melepas mantel yang dipakainya lantas menangkupkan ke tubuh wanita yang berjalan di sampingnya. "Pakai punyaku dulu. Aku tidak mau ditegur Paman Silas karena putri kesayangannya tiba-tiba flu."

"Terima kasih."

"Egan, kau ba ... o, maaf." Sabia buru-buru berbalik saat memergoki Tansy mencium pipi Egan. Sial! Mereka sengaja ikut hanya untuk mempertontonkan kemesraan? Di depanku? Dasar menggelikan!

Egan yang tak menduga tindakan Tansy, untuk beberapa saat, hanya mematung. Mencoba mencerna apa yang baru saja mendarat di pipinya.

Tansy ... menciumnya? Tepat saat Sabia melihat ke arahnya? Kebetulan macam apa itu?

"Tansy, jangan lakukan hal seperti tadi!" Egan menggeram; menahan kesal agar tidak sampai membentak.

"Kenapa? Aku hanya ingin berterima kasih. Memang tidak boleh?" Seulas senyum tipis mampir di wajah wanita itu. Tatapannya lantas jatuh kepada pemilik tubuh mungil yang berjalan tergesa beberapa langkah di depan mereka.

"Kau bisa berterima kasih tanpa perlu menciumku, Tansy."

"Aku sudah melakukannya denganmu. Sejak dulu. Sejak kita masih kecil dan kau baik-baik saja. Kenapa kau marah sekarang?"

"Aku tidak marah. Aku hanya ...."

Belum lengkap protesan Egan, Sabia sudah berdiri menghadang langkahnya. "Kau punya pisau?"

"Hah?"

"Kau punya pisau, tidak? Kalau tidak, pedangmu juga boleh."

"Untuk apa?" Egan mengernyit jeri. Bukan saja permintaan wanita bertubuh mungil di depannya, tetapi tatapan tidak bersahabat yang terasa sangat menusuk diberikan wanita itu.

"Berikan saja. Kau terlalu banyak tanya." Sabia menadahkan sebelah tangan. Bergerak-gerak tidak sabar karena Egan masih belum juga memberinya benda yang dimau.

"Kau mau pakai buat apa?" Egan mengeluarkan pisau kecil yang tergantung di ikat pinggang. Sangsi menyerahkannya kepada Sabia.

"Membunuh hal yang menyebalkan. Mungkin." Sabia menyerobot pisau di tangan Egan. Membuka kasar sarungnya. Menyerahkan kembali sarung pisau kepada pemiliknya. Lantas, tubuh mungil itu berbalik. Gegas meninggalkan sepasang anak manusia yang dibuat melongo.

"Egan?" Tansy menatap jeri tingkah Sabia yang menebasi beberapa semak setinggi tubuhnya.

"Hm?"

"Kau harus memastikan bahwa kita akan pulang dengan selamat. Aku ... tidak mau mati terbunuh di hutan ini."

"Kau ini bicara apa, heh?"

Rasa-rasanya, bulu kuduk Tansy meremang di luar kendali.

***

Kitchen Doctor Season 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang