Sabia kehabisan tenaga. Begitu sampai kamar, dia langsung menelungkup di atas ranjang. Tidak peduli jika celemek masih menempel. Tidak peduli jika rambutnya telah lepek dan semrawut. Sejak pagi, dia terperangkap di dapur istana. Selain memang harus menyiapkan makan pagi, siang, dan malam, Sabia pun harus mengajari tahap demi tahap setiap resep kepada pelayan yang membantunya.
Meski lelah, wanita itu memamerkan senyum sepanjang berjalan terseok-seok menuju Istana Putri. Pujian dari Raja Nigel dan Ratu Nimia terus berdentang di kepala.
"Kami tidak pernah salah mengambil langkah. Kalian bisa rasakan, bukan? Makanan-makanan yang dibuat Nona Sabia sangat enak. Langsung menyegarkan tubuh. Bukan begitu, Sayang?" Tatapan penuh cinta diberikan Raja Nigel kepada Ratu Nimia. Mereka bahkan sempat saling bergenggaman tangan.
"Betul, Yang Mulia. Makanan-makanan ini sangat lezat. Mana-ku perlahan-lahan pulih. Dalam waktu dekat, kita bisa mempersiapkan prajurit-prajurit dengan kondisi prima."
Sabia mengubah posisi. Telentang. Menatap kelambu yang menutupi atap ranjang. Beginikah yang dirasakan Nenek setiap kali aku memuji masakannya? Itukah sebabnya Nenek selalu memasak sendiri di rumah? Rasanya menyenangkan, ya, bila ada yang menikmati hasil masakanmu dengan lahap bahkan sampai memujinya.
"Nenek tidak memaksamu ahli memasak, tetapi setidaknya bisa. Hidangan rumahan saja. Suatu hari nanti, kemampuan memasakmu mungkin akan menjadi sumber kebahagiaan orang lain. Suami dan anak-anakmu, misalnya. Membiasakan mereka makan masakanmu akan menciptakan bounding tersendiri. Mereka akan selalu merindukan rumah karena di sanalah mereka bisa makan makanan yang enak walaupun sederhana. Terlebih dimasakkan oleh orang yang mereka cintai."
Tak terasa, bulir hangat meluruh dari sudut-sudut mata Sabia. Kenangan berbincang dengan Nenek terpatri kuat dalam ingatan. Satu-dua di antaranya selalu mengandung nasihat yang menyenangkan untuk didengar.
Sabia sadar. Nenek memang sering memintanya belajar memasak, tetapi tidak pernah sampai memaksa dengan kemarahan. Seolah-olah permintaannya itu hanya sambil lalu. Didengar, ya, syukur. Diabaikan, ya, sudahlah.
"Nenek benar. Kemampuan memasak akan berguna suatu hari nanti. Siapa yang tahu kalau ternyata aku masuk ke dunia lain. Sebuah kerajaan yang bahkan tidak pernah ada dalam peta dunia yang kutahu." Sabia berguling. Kembali mengubah posisi. Menelungkup. "Apakah ini di Mars? Jupiter? Atau Saturnus? Siapa tahu saja dunia lain yang kita maksud adalah entitas kehidupan di planet lain, 'kan?"
Tok! Tok! Tok!
"Siapa?" Sabia menyahuti suara ketukan pintu. Beranjak duduk di tepian ranjang.
"Limora, Nona."
"Masuk saja, Limor. Aku tidak mengunci pintunya."
Limora masuk sembari mendorong troli. Di atasnya, tersusun poci dari keramik yang menguarkan uap panas; cangkir dan pisin yang juga dari keramik berhiaskan Bunga Tiga Aroma, serta stoples kaca yang berisi daun teh kering bercampur mahkota krisan.
"Aku bawakan teh untuk Nona. Barangkali bisa sedikit meredakan lelah sehingga Nona bisa tidur lelap malam nanti."
"Boleh aku minta diambilkan sesuatu, Limor?"
"Boleh, Nona. Apa yang Nona butuhkan?"
"Aku ingin sebotol madu. Untuk di kamar."
"Akan saya ambilkan."
Sabia mengangguk. Sembari menunggu Limora kembali, Sabia mencicipi teh yang dibawa gadis itu. Wangi krisan menyegarkan indra pembau. Seketika merelaksasi seluruh syaraf di tubuh. Akan sangat sempurna jika diberi beberapa tetes madu. Sabia tidak terlalu suka teh hambar apalagi pahit. Di rumah pun, Nenek selalu menambahi dengan madu alih-alih gula kristal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kitchen Doctor Season 1
FantasySebuah portal sihir muncul di kamar Sabia Nuala setelah tujuh hari kematian sang nenek. Sesuatu menarik paksa Sabia, berputar-putar dalam lorong waktu aneh, berakhir tersungkur di aula rapat Kerajaan Vlemington. Kedatangan yang disambut sorak-sorai...