Dia menyerah. Tak lagi meronta saat pusaran cahaya membawanya memasuki lorong panjang. Hanya bisa telentang sembari mendekap buku resep milik Nenek. Tatapannya menerawang. Kosong. Tidak peduli dengan sekelilingnya yang dipenuhi kilat cahaya. Merah, fanta, ungu, violet, biru, lilac, dan beragam warna dengan harmoni serupa.
Di mana? Di mana dirinya berada? Atau mungkin, ke mana dirinya akan dibawa?
Kepalanya berjejal ragam pertanyaan. Entah berapa lama waktu berlalu. Dia tak mau menghitung. Otaknya sedang mengumpulkan kewarasan jika memang dia masih memilikinya.
Perlahan-lahan, pusaran cahaya menghilang. Berujung di sebuah lubang yang siap memuntahkan wanita itu ke suatu tempat. Belum pula terkumpul nilai kewarasan yang dia mau, tubuhnya seperti terbanting ke sebuah tempat. Permukaan berlapis karpet merah tebal yang cukup empuk, tetapi tidak cukup membuat tubuhnya terhindar dari rasa sakit.
"Pemanggilannya berhasil!"
"Dia datang!"
"Wah, seorang wanita? Apa kalian yakin?"
"Dia tidak tampak hebat."
"Penampilan bisa menipu siapa saja."
"Yang Mulia, dia berhasil terpanggil."
"Kau yakin dia yang kalian inginkan?"
"Kami yakin, Yang Mulia. Hanya dia yang menjawab panggilan."
Beragam warna suara berdengung di telinganya. Ramai. Disusul sorak-sorai beberapa orang yang dari tipe suaranya bisa dikenali sebagai pria dewasa. Beberapa terdengar seperti paruh baya.
"Aku tidak percaya bahwa pemanggilan pahlawan bisa dilakukan."
"Selama syarat terpenuhi, semua menjadi mungkin, Yang Mulia."
Dia mengerang lirih. Pinggangnya terasa nyeri karena pendaratan tidak sempurna--terpaksa didaratkan. Perlahan, wanita itu mendongak. Sesuatu menyilaukan di depan sana membuatnya memicing. Sambil masih mendekap buku resep milik Nenek, perlahan-lahan dia bangkit. Baru disadarinya sesuatu yang berkilau tadi adalah mahkota di atas kepala seorang lelaki paruh baya; tersorot oleh cahaya yang menelusup masuk melewati kisi jendela di bagian kiri.
Di sisi kanan dan kirinya berderet belasan lelaki yang juga paruh baya. Hanya bedanya, pakaian yang mereka pakai tidak lebih mewah dari yang duduk di atas singgasana. Penampilan yang kerap dipertontonkan para kasim atau menteri dari sebuah kerajaan.
Tunggu? Sebuah kerajaan?
Dia bergegas bangkit. Menoleh ke sana kemari untuk mempelajari ruangan yang sangat luas dengan jendela-jendela tinggi dan besar. Lelaki paruh baya di depannya duduk di singgasana. Bermahkota. Pakaian yang dikenakan terlihat sangat mewah dengan pernak-pernik dari batu alam yang apabila tertimpa cahaya akan berkelip meriah.
Tatapannya beradu dengan lelaki di singgasana. Meski asing, wanita itu tidak merasakan adanya ancaman dari sosok tersebut. Wajahnya yang tak lagi muda justru menyiratkan keteduhan dan kebijaksanaan hidup.
Ah, baru dia sadari bahwa di sampingnya, dalam singgasana yang tak kalah mewah, duduk perempuan seusia lelaki itu. Gurat-gurat kemudaan memang mulai memudar, tetapi keanggunan dan kecantikan terpahat sempurna di wajahnya. Bukan mahkota yang menghiasi rambut cokelat muda perempuan itu, melainkan hair pin seukuran telapak tangan orang dewasa. Tersemat di bagian kiri. Mungkin terbuat dari bahan akrilik terbaik sehingga kilaunya tak kalah cantik dari permata asli. Mungkin pula benar-benar dari permata yang dipahat sedemikian rupa sehingga menghasilkan sebuah karya seni seestetis itu.
"Selamat datang di Kerajaan Vlemington, Nona." Seorang pria, yang sejak tadi berdiri tidak jauh dari singgasana, maju beberapa langkah mendekati wanita di tengah aula.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kitchen Doctor Season 1
FantasySebuah portal sihir muncul di kamar Sabia Nuala setelah tujuh hari kematian sang nenek. Sesuatu menarik paksa Sabia, berputar-putar dalam lorong waktu aneh, berakhir tersungkur di aula rapat Kerajaan Vlemington. Kedatangan yang disambut sorak-sorai...