Hidangan Utama 11

1.6K 175 0
                                    

"Kau sudah bangun, Sabia?" Kepala berambut putih itu melongok dari pintu yang terbuka sedikit. Memeriksa kondisi cucu satu-satunya yang masih bergelung di bawah selimut padahal kokok ayam tetangga berbunyi nyaring sejak dua jam lalu.

Alih-alih menjawab, gadis yang baru berusia tujuh belas tahun itu hanya mengerang. Masih mengantuk. Gravitasi ranjang dan selimut lebih besar dari magnitudo suara perempuan itu.

"Sabia, kau bangun sekarang atau Nenek mengguyurmu?" Perempuan tua itu masuk. Berdiri sembari berkacak pinggang di samping ranjang Sabia.

"Aku masih mengantuk, Nenek." Dia tak peduli. Tubuhnya lelah. Seharian kemarin penuh kegiatan di sekolah karena Porseni. Gadis itu mendapat jatah bertanding basket sebagai perwakilan kelas.

"Nenek tidak mau tahu. Kau bangun sekarang lalu bantu Nenek menyiapkan makanan atau tidak ada jatah sama sekali untukmu selama sehari. Nenek ada perlu di luar. Berjanji kunjungan dengan teman lama. Seharian nanti, Nenek tidak di rumah."

Mendengar rencana sang nenek hari itu, Sabia segera bangkit. "Nenek mau pergi?"

"Iya. Bangun sekarang dan bantu Nenek menyiapkan makananmu."

"Aku kan belum bisa memasak. Apa yang harus kulakukan?"

"Kau bisa menyiapkan bumbu, merajang rempah, atau memotongi sayuran. Nenek tidak mau mendengar alasan bahwa kau tidak bisa melakukannya." Sebelum Sabia memprotes, Nenek beranjak keluar.

Dia menggerutu meski tubuhnya tetap bangkit dari ranjang. Malas-malasan keluar kamar. Aroma nasi yang ditanak memenuhi udara. Harum. Wangi pandan. Sabia bisa membayangkan seberapa pulen nasi hasil tanakan Nenek.

Selesai mencuci wajah demi menghilangkan kantuk, Sabia duduk menghadap meja. Ada meja lumayan besar yang diletakkan di tengah dapur. Posisi yang mudah dijangkau dari sudut mana pun. Nenek berada di seberang. Menjerang air untuk membuat teh manis hangat.

Sejujurnya, meski Sabia belum bisa memasak, dia selalu senang berada di dapur. Kawasan paling sederhana--dibiarkan tetap sederhana--di rumah mereka. Dinding dan lantai dibiarkan hanya plesteran semen. Selain kompor gas, Nenek masih mempertahankan dua tungku tradisional yang dibuat dari tumpukan batu bata. Jika bukan hari spesial, tungku digunakan hanya untuk memasak air. Di rumah mereka, air yang diminum bukan dari air kemasan. Mereka menjerang sendiri lantas menyimpannya dalam jeriken atau panci-panci besar. Nenek tidak suka minum air kemasan.

Soal menyiapkan bahan untuk bumbu, Sabia sudah sering melakukan. Soal mengupas bawang atau mengiris cabai, Sabia bisa meski tidak sebagus dan serapi irisan milik Nenek. Di rumah itu, mereka hanya tinggal berdua. Yang bisa membantu Nenek, ya, hanya Sabia. Mau tidak mau, dia harus belajar sedikit demi sedikit urusan dapur.

Satu jam kemudian, sarapan mereka tersedia di atas meja. Sebakul nasi yang mengepul, satu panci sayur bayam dengan potongan jagung, cumi pedas, serta beberapa iris tempe mendoan. Menu makan sederhana yang selalu membuat Sabia lupa berdiet.

"Kau akan lebih menghargai dan menikmati makanan saat kau memasaknya sendiri, terlebih memasaknya untuk orang lain. Terkadang, memasak bukan saja membahagiakan dirimu, tetapi membahagiakan orang lain juga."

***

Sabia terbangun padahal hari masih jauh dari pagi. Bulan menggantung tepat di atas kepala saat langkahnya mendatangi balkon. Tak ada Leif berarti pria itu sudah menyelesaikan tugas. Tidak ada siapa pun di taman Istana Putri. Lengang. Hanya gemericik air mancur yang terdengar sampai kamarnya.

Mimpi tadi terasa sangat nyata. Mimpi yang kembali membuatnya rindu kepada Nenek.

Helaan napas Sabia menciptakan uap. Mengepul di udara karena hawa dingin dini hari. Mimpi tadi justru membuat wanita itu mendadak lapar. Tentang Nenek selalu mengingatkannya dengan masak dan makan.

Kitchen Doctor Season 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang