4: Rumah?

167 11 2
                                    

Matahari sudah menyapa di pagi yang cerah ini. Kedua gadis remaja perempuan kini sedang duduk santai di teras sambil memperhatikan indahnya pagi hari. Rumah Amelya memang di tengah pedesaan yang asri, alasan orang tua nya membangun rumah di sana karena Amelya sangat menyukai pemandangan yang asri dan sejuk. Orang-orang di sana juga sangat ramah kepadanya.

"Lo udah mandi aja," ucap Amelya yang menyadari wangi sabunnya.

"Hmm."

"Ayah Lo gak nyariin Lo?" Tanya Amelya.

"Nyariin, paling nanti juga datang ke sekolah." jawabnya dengan enteng. Dia sudah menyusun strategi untuk ini, tadi malam dia menghubungi Luke agar menjemput nya saat pulang sekolah. Amelya mengangguk, dan kemudian meminum teh hijau kesukaan.

"Luka lo—maksudnya itu yang di punggung Lo apa gak sakit?"

"Kita gak bakal ngerasa sakit kalau kita sudah mati rasa, gue udah mati rasa sejak dia datang Li. Gue selalu berusaha agar gak nyakitin dia tapi kelakuan gue mungkin bisa nyakitin dia, tanpa gue sadari." Lyora kemudian masuk kedalam dan berjalan menuju kamar Amelya, mengganti pakaiannya menjadi seragam.

Amelya sedikit kasihan ketika mendengar semua cerita temannya. Seharusnya dia bersyukur masih mempunyai orang tua yang sayang sama dia, walau mereka sibuk dengan pekerjaan. Tapi setidaknya mereka tidak pernah bermain tangan dengan dirinya.

Sedangkan di kamar, Lyora membuka handuk yang menutupi tubuhnya tadi. Melihat dirinya di cermin, bisa dia lihat luka bekas pukulan yang Fano berikan belum hilang dan belum sembuh.

"Tuhan maaf jika aku sering mengeluh, tapi aku sendiri lelah dengan ini semua. Bisa kah engkau mengubah takdirku? walau sebentar saja, aku ingin merasakan kasih sayang ibu dan ayah lagi."

Sakit, sakit sekali ucapan itu. Amelya mendengar semua ucapan Lyora. Hampir saja dia menangis, baru kali ini dia menangis mendengar ucapan temannya.

“berat banget ya Ra jadi lo.”

****

Dan benar saja dugaan Lyora tadi pagi. Fano benar-benar datang dengan wajah yang datar menatapnya. Lyora tak peduli, dia tetap berjalan menuju gerbang dan mencari dimana Luke berada. Fano menarik tangan nya dan membawanya masuk kedalam mobil.

"Kamu udah berani ya sekarang! udah punya temen kamu! jadi ini yang membuat kamu berubah?"

"Kenapa diem?jawab aya—"

"Introspeksi diri dong yah, di kamar ayah gak ada kaca? atau kacanya kurang besar?yang ngebuat aku kayak gini itu ayah sama ibu, bukan aku! aku hanya ingin kasih sayang yang seimbang yah, bukan seperti ini. Kalian berdua malah selalu mementingkan Thyara daripada aku, saat aku sakit. Ibu saja tidak peduli, bahkan saat itu juga ayah cuma ngasih aku sarapan satu kali aja. Sedangkan Thyara? dia cuma pusing aja kalian bawa ke rumah sakit, kalau aku sakit parah apakah kalian baru peduli? aku capek yah di banding-bandingin sama Thyara. Ayah sama ibu itu sama aja, gak ada bedanya. Aku keluar, aku akan tinggal sama kakek seminggu ini. Terimakasih atas lukanya."

Lyora mengeluarkan semuanya, rasa benci, iri, kesal, semuanya dia keluarkan. Lyora hampir saja menangis ketika mengingat masa lalunya, dia bahkan selalu di abaikan,  ketika Luna dan Fano sibuk mengurus Thyara padahal saat itu Thyara sedang tidur dengan pulas. Dan saat dia berumur 5 tahun, saat ulangtahun nya, dia ingin tidur bersama dengan Fano dan Luna tapi mereka malah mengurus Thyara yang jelas baik-baik saja.

Lyora Dan Kehidupannya•END✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang